Cerita Rakyat Si Pitung Asal Betawi dan Pesan Moral yang Dapat Dipetik Pembaca
Cerita rakyat Si Pitung berasal dari Jakarta atau dulu dikenal dengan sebutan Betawi. Si Pitung dikenal sangat perkasa dalam membasmi kejahatan. Si Pitung juga dikenal sebagai pemuda yang baik, taat beribadah dan berbudi pekerti luhur.
Ada banyak versi cerita rakyat tentang Si Pitung yang beredar di masyarakat, masing-masing tentu memiliki sudut pandang berbeda. Versi Indonesia menggambarkan Si Pitung sebagai pahlawan yang membela rakyat Betawi, sementara versi Belanda dan Tionghoa memandangnya sebagai buronan yang melawan kekuasaan kompeni.
Si Pitung dikenal sebagai seorang pahlawan Betawi karena keberaniannya dalam memberantas kejahatan. Ia berasal dari Rawa Belong. Selain mempelajari agama dengan mengaji, Si Pitung juga menuntut ilmu bela diri silat dari Haji Naipin.
Asal-usul Si Pitung
Si Pitung lahir di Batavia (Jakarta) tahun 1886, tepatnya saat penjajahan Belanda. Diketahui memiliki nama asli Ahmad Nitikusumah, anak dari pasangan Bang Piung dan Mak Pinah yang bermukim di daerah Rawabelong.
Ketika kecil, Si Pitung sekolah di Pondok Pesantren Haji Naipin, tempat ia dididik dengan pendidikan agama yang kuat, sambil belajar ilmu bela diri. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki akhlak baik dan banyak disukai warga sekitar.
Dalam bahasa Jawa, nama "Pitung" artinya tujuh sekawan atau tolong menolong. Nama tersebut merujuk pada komplotannya yang terdiri atas 7 orang. Meskipun nama Pitung merujuk pada kelompok tersebut, seringkali nama ini hanya diasosiasikan dengan Ahmad Nitikusumah sebagai individu.
Cerita Rakyat Si Pitung
Cerita rakyat Si Pitung berasal dari abad ke-19, mencceritakan perjalanan hidup Ahmad Nitikusumah, yang lebih dikenal sebagai Si Pitung, sosok yang dijuluki "Robin Hood" Indonesia. Cerita dimulai ketika ayahnya memberi amanat untuk menjual seekor kambing, hasil ternak keluarga di Pasar Tanah Abang.
Saat itu, Si Pitung berusia 15 tahun. Setelah berhasil menjualnya, Si Pitung berjalan dengan perasaan bangga dan akan menyerahkan uang hasil jualannya itu kepada sang ayah.
Setelah berhasil menjualnya, Si Pitung mendapatkan uang 25 gulden yang kemudian dirampas oleh sekelompok bandit. Bandit tersebut merupakan komplotan Belanda dan Tionghoa yang dijuluki sebagai “centeng”. Si Pitung pulang dengan tangan kosong, ayahnya pun menjadi geram.
Dalam cerita rakyat Si Pitung, terlihat Si Pitung murka dan berjanji membalaskan dendam kepada para bandit. Ketika bertemu dengan mereka kembali, Si Pitung mengerahkan semua kemampuan bela dirinya untuk memberikan pelajaran kepada komplotan tersebut.
Setelah bertarung, komplotan yang terdiri atas 6 orang itu tampak terkesan dengan kemampuan bela diri yang dimiliki Si Pitung. Komplotan itu terdiri atas enam pemuda, di antaranya Abdoelrachman, Moedjeran, Dji-ih, Merais, Gering, dan Jampang. Si Pitung bergabung komplotan bandit dengan syarat hasil rampokannya dibagikan kepada yang membutuhkan.
Untuk melawan para kompeni dan tuan rumah yang semena-mena terhadap warga, Si Pitung menggunakan ilmu bela dirinya. Si Pitung dan komplotan mulai melakukan aksi pertama di kantor Maester Cornelis, tempat tuan tanah asal Bugis, Haji Saipudin bekerja.
Aksi tersebut dilakukan oleh Si Pitung dengan menyamar sebagai salah satu pegawai pemerintahan Belanda. Penipuan dilakukan dengan cara mencuri seragam salah satu petugas dan menyamar sebagai demang, atau kepala daerah wilayah Maester Cornelis.
Kemudian, Si Pitung memberikan surat perintah kepada Haji Saipudin agar menyimpan uangnya di kantor Maester Cornelis untuk keperluan pengawasan pencurian. Tidak disangka, Haji Saipudin setuju dan memberikan uangnya kepada Si Pitung yang menyamar sebagai Demang Maester Cornelis. Alhasil, harta Haji Saipudin dibawa kabur oleh komplotan Si Pitung.
Merasa berhasil melakukan aksinya, mereka terus melakukan beragam perampokan. Kabar tersebut perlahan terdengar dan menggemparkan warga yang khawatir hartanya dicuri Si Pitung.
Pihak berwenang menyiapkan 400 gulden untuk memburu komplotan Si Pitung. Namun, yang paling dicari ialah Si Pitung karena perannya sebagai ketua.
Meski memiliki ilmu bela diri dan kesaktian, akhirnya Si Pitung tertangkap juga oleh Van Hinne. Si Pitung jatuh ke tanah dan meninggal setelah ditembak oleh Van Hinne. Ternyata, satu hari sebelumnya Si Pitung memotong rambutnya sehingga kesaktiannya hilang.
Berdasarkan cerita rakyat Si Pitung yang beredar, ia dimakamkan di TPU Kebon Jeruk, Jakarta. Makam Si Pitung terus dijaga oleh warga Betawi karena dipercaya dan dihormati sebagai pembela keadilan bagi masyarakat yang tertindas. Warga Betawi juga percaya bahwa Si Pitung terus melindungi mereka dari malapetaka hingga saat ini.
Pesan Moral dari Cerita Rakyat Si Pitung
Dalam cerita rakyat Betawi tersebut, ada beberapa pesan moral yang dapat dipetik. Berikut di antaranya:
• Selalu memiliki niat mulia dalam bertindak.
• Suka menolong dan supel sehingga disenangi oleh masyarakat.
• Meski memiliki niat baik, harus sesuai dengan kaidah kebaikan dan tidak melanggar hukum.