BI Catat Kontribusi Industri Manufaktur ke Ekonomi Menyusut 8%
Bank Indonesia (BI) menyebut industri manufaktur menghadapi sejumlah hambatan yang menyulitkannya untuk berkembang. Alhasil, kontribusi industri tersebut terhadap perekonomian menyusut, meski masih lebih besar dibanding sektor bisnis lainnya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan kontribusi industri manufaktur pernah mencapai 28% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2004 lalu. Namun, saat ini kontribusinya hanya 20%. Ini artinya, konrribusinya susut 8% dalam kurun waktu 13 tahun.
"Kalau mau (jadi negara) maju, ya manufaktur harus maju. Sekarang 20%, tapi itu masih yang terbesar," ujar dia saat seminar bertajuk 'Mendorong Peran Industri Hulu bagi Perekonomian Indonesia' di Gedung BI, Jakarta, Kamis (3/8). (Baca juga: Kembangkan 11 Kawasan Ekonomi Khusus, Pemerintah Incar Rp 72 Triliun)
Menurut Mirza, yang terjadi saat ini, industri manufaktur belum berinvestasi secara signifikan untuk ekspansi bisnis. Hal itu tercermin dari porsi kredit perbankan ke sektor manufaktur yang hanya 17% dari total kredit. Padahal, porsinya dulu bisa mencapai lebih dari 20%.
Ia memandang, pelaku industri manufaktur masih menunggu perbaikan-perbaikan dari sisi infrastruktur, biaya produksi, maupun regulasi. Bila perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan, ia pun optimistis kontribusi industri manufaktur terhadap PDB bisa kembali ke atas 20%. (Baca juga: Kuartal II-2017, Pertumbuhan Industri Kecil Anjlok)
Maka itu, ia menilai perlunya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam hal perizinan dan mencarikan solusi agar industri manufaktur mau berinvestasi. Ia juga menilai positif upaya pemerintah menggencarkan pembangunan infrastruktur.
Di sisi lain, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menyebut dua industri yang mencatatkan pertumbuhan positif yaitu kimia dasar dan logam dasar. Namun, pertumbuhan industri ini terhambat oleh biaya produksi dan bahan baku yang masih harus diimpor.
Biaya produksi industri logam dasar, misalnya, mengalami kendala berupa harga gas alam yang tinggi. "Harga gas alam di Indonesia itu US$ 9,5 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU)," kata Doddy. Harga tersebut lebih mahal dibanding di Jepang dan Rusia yang hanya US$ 6,3 per MMBTU. Begitu pula bila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. (Baca juga: Pemerintah Dorong Investor Ikut Bangun Infrastruktur Gas)
Selain itu, tarif listrik yang naik sejak 2014 juga turut membebani biaya produksi. Meskipun dibanding negara-negara di ASEAN, tarif listrik Indonesia masih lebih rendah. Di Indonesia l, tarif listrik sebesar Rp 819 per Kilo watt per jam (KwH). Sementara di Malaysia Rp 1.066 per KwH; Thailand Rp 1.270 per KwH; Filipina Rp 1.551 per KwH; dan Singapura Rp 1.689 per KwH. Tarif listrik di Indonesia hanya lebih tinggi dibanding Vietnam yang sebesar Rp 777 per KwH.
Infrastruktur yang belum mendukung juga turut memperbesar biaya produksi, misalnya infrastruktur berupa pelabuhan dan listrik. Adapun, biaya produksi di Indonesia tercatat mencapai US$ 496 per ton yang terdiri atas biaya bahan baku US$ 243 per ton, energi US$ 219 per ton, dan tenaga kerja US$ 34 per ton.
Biaya produksi Indonesia berada di atas Korea Selatan yang sebesar US$ 332 per ton. Lalu Brazil, Rusia, dan India yang masing-masing sebesar US$ 333 per ton, US$ 344 per ton, dan US$ 380 per ton. Bahkan Jepang, Turki, Cina, dan Amerika Serikat (AS) pun biaya produksi lebih rendah yaitu US$ 389 per ton, US$ 401 per ton, US$ 434 per ton, dan US$ 461 per ton.
Dody menambahkan, industri kimia dasar dan logam dasar juga terhambat oleh kapasitas produksi ethylene dan prophilene domestik yang belum mampu memenuhi permintaan industri. Alhasil, harus dipenuhi dengan impor.