Ngobrol Seru Soal Konten Kreatif di Festival Cinta
Sebuah film pendek berjudul Tilik sempat viral di media sosial dan menjadi buah bibir pertengahan 2020 lalu. Perdebatan antarwarga, terutama Bu Tejo yang diperankan Siti Fauziah dan Brilliana Desy yang menjadi Yu Ning, menuai banyak komentar warganet.
Film produksi Ravacana Films tersebut mengisahkan sekumpulan ibu dari desa yang melakukan perjalanan dengan truk untuk menjenguk (tilik) Bu Lurah di rumah sakit di kota. Tilik diproduksi pada 2018 dan terpilih sebagai pemenang untuk kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018. Film tersebut juga menjadi Official Selection di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018 serta World Cinema Amsterdam 2019.
Kisah perjalanan berikut perbincangan ibu-ibu di Tilik merupakan buah pikiran penulis naskah film Bagus ‘Bacep’ Sumartono. Ia menjelaskan asal mula ide cerita dan proses kreatif menulis skenario di Festival Cinta yang berlangsung Sabtu (19/02) di Omah Petroek, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Di sesi acara bertajuk “Obrolan Konten Kreatif”, Bagus mengatakan gagasan film Tilik diperoleh saat meriset untuk film Sultan Agung buatan Hanung Bramantyo.
“Karena pekerjaan saya sering naik-turun ke Kecamatan Dlingo, Bantul melalui jalan perbukitan cukup ekstrem bernama Cinomati. Suatu saat kendaraan saya terhenti di tanjakan ekstrem itu dan ada pickup penuh berisi ibu-ibu berkerudung di depan. Mereka tampak cool dan saat itu ada seorang ibu yang mukanya tenang sekali turun dari pickup terus ngganjel ban mobil pakai batu. Nah, itu yang memantik ide-ide di kepala saya,” terangnya.
Mulanya Bagus berniat menerjemahkan gagasan cerita tentang budaya tilik masyarakat pedesaan di Dlingo ke dalam film dokumenter. Namun, ia bertemu dengan sutradara Wahyu Agung Prasetyo dari Ravacana Films.
Agung menanyakan soal ide cerita sebab ada kompetisi pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. “Ada gagasan tapi mau dibuat untuk dokumenter tetapi bisa kok ditrasnfer ke fiksi. Kami terus bersepakat menyusun draft awal film dan saya bilang ke Agung judulnya Tilik meski naskah belum jadi,” ujarnya.
Menurut Bagus, film naratif pendek seperti Tilik termasuk dalam konten kreatif. Ada tiga jenis dalam ketegori ini: film naratif atau fiksi pendek juga panjang, film non-naratif atau film dokumenter pendek dan panjang, serta film eksperimental.
Dalam menyusun skenario, dia menggunakan logika penulisan pemrograman. Dari sanalah Bagus mengetahui bahwa istilah-istilah teknologi informasi ternyata juga dipakai di dunia film.
“Bahasa pemrograman yang pertama kali perlu dipikirkan adalah kita mau bikin film apa. Itu akhirnya menentukan pembuatan film naratif, non-naratif, atau ekperimental,” kata Bagus. Lalu, dia melanjutkan, perlu merumuskan niat. Setelah itu ada proses belajar atau riset. “Ketiganya bisa dibolak-balik, terserah. Yang penting ada. Setelah terpenuhi maka bisa menulis naskah.”
Bagus menyebutkan naskah mensyaratkan struktur tiga babak yang terdiri dari pengenalan tokoh, konflik, dan resolusi. Tema atau premis perlu terlebih dahulu ditentukan agar penulis dapat menciptakan tokoh serta cerita dan pembabakan cerita juga konflik di tiap babak.
Setelah proses penulisan selesai dan naskah disepakati -oleh produser, sutradara, juga penulis skenario- selanjutnya proses syuting dilakukan. Terakhir, ada aktivitas distribusi yang dapat dilakukan lewat jalur apapun termasuk kanal yang memungkinkan filmmaker mengunggah karyanya sendiri.
Bagus pun menekankan perlunya pembuat konten kreatif untuk membaca dan memperbanyak menulis serta menonton. Dalam penulisan perlu memperhatikan unsur 5W 1H 1E. 5W 1 H itu seperti di jurnalistik sedangkan E itu empati.
“Jadi kita punya kesadaran bagimana kalau di sisi orang yang ditulis. Perlu juga bertanya sudah pernah ada belum cerita atau film seperti ini. Dengan banyak menonton maka database adegan juga dialog itu sudah terekam. Itu Anda tinggal melakukan ATM alias Amati Tiru Modifikasi,” ujarnya.