Metamorfosis Metro Mini: Penyegaran Transportasi Ibu Kota
Sempat berjaya setelah kemunculannya pada 1960-an, Metro Mini kini memasuki masa senja. Tahun lalu merupakan batas akhir bus bercorak oranye ini di Jakarta. Dia, seperti saudara seperjalanannya, Kopaja, yang suda tua dan bobrok, tak akan lagi berseliweran di lalu-lintas Ibu Kota.
Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Masdes Arroufy mengatakan revitalisasi bus berukuran sedang yang uzur ini telah berakhir. Mulai 1 Januari 2019, hanya bus di bawah 10 tahun yang boleh beroperasi. “Target kami, bus yang usianya tua sudah harus habis,” kata Masdes.
Revitalisasi berupa penggantian bus merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Pasal 51 dalam aturan itu menyebutkan masa pakai bus sedang maksimal sepuluh tahun. Aturan itu belum pernah diterapkan. Baru pada 2016 lalu, Dinas Perhubungan dan pengusaha transportasi sepakat merevitalisasi bus dalam tiga tahun.
(Baca: Bayar Transportasi Umum di Jabodetabek Harus Pakai Uang Elektronik)
Di tengah gelombang baru teknologi digital, yang juga memasuki sektor transportasi, Metro Mini makin tersudut dengan moda armada lain yang lebih segar. Para pengemudinya pun sering mengeluhkan kecilnya pendapatan mereka.
Patrik, sopir Metro Mini, menyatakan untuk membawa pulang Rp 50 atau 100 ribu per hari saja saja susah. Padahal, dulu, ia bisa mendapat Rp 250 ribu dalam setengah hari.
Rudi, pemilik Metro Mini jurusan Rempoa, juga mengatakan mini bus ini sudah sangat tertinggal dengan ojek online dan Transjakarta. Pada 2005, dia memiliki 20 Metromini, kini tinggal lima unit. “Karena Metromini tidak laku dijual, akhirnya saya pretel dan jual loakan, hanya laku sekitar Rp 10 juta,” kata Rudi.
Kini, sebagian armada Metro Mini bermetamorfosis menjadi bagian dari layanan transportasi massal Transjakarta yang memiliki kenyaman lebih baik. Ia menjadi sarana pengumpan dengan menyandang nama baru: Minitrans.