Standar prosedur operasi dalam penyaluran kredit perbankan menjadi salah satu jantung kasus pembiayaan macet proyek PT Megah Jaya Prima Lestari di Bank Permata. Sejumlah pasal diajukan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan terhadap Ardi Sedaka, mantan karyawan di bank tersebut.
Begitu juga dalam berkas tuntutan setebal 269 halaman, berlembar-lembar argumen ditorehkan jaksa. Ardi yang ketika itu menjabat Head Client Relationship II, demikan pula tujuh pegawai lainnya, dianggap tidak berhati-hati dalam menerapkan prosedur pemberian kredit proyek pipanisasi avtur milik PT Pertamina yang dikerjakan Megah Jaya.
“Dapat diperkirakan bahwa kredit macet yang terjadi dewasa ini disebabkan karena faktor moralitas dan etika, tidak taat pada ketentuan yang berlaku, termasuk standard operating procedures,” demikain salah satu kesimpulan jaksa dalam halaman 164 yang menjadi dasar untuk menuntut Ardi.
Tentu salah satu pijakan tuntutan jaksa ini ditampik oleh tim kuasa hukum. Dalam pledionya, sejumlah pendapat pakar dijadikan rujukan, termasuk keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan, bahwa SOP dan kebijakan internal bukan perundang-undangan bagi bank. “Orang salah kaprah dan menganggap melanggar prinsip kehati-hatian. Kalau pun SOP dilanggar, itu bukan peraturan perundang-undangan,” kata Didit Wijayanto, kuasa hukum Ardi.
Kredit macet Megah Jaya Prima Lestari ini satu dari sekian kasus pembobolan bank dengan memanfaatkan prosedur yang ada di industri perbankan. Para debitur nakal kerap mencari celah untuk mengambil keuntungan dari himpunan dana nasabah.
Sebenarnya, kata mantan Direktur Utama Bank Negara Indonesia Sigit Pramono, standar prosedur operasi di bank sudah ketat agar tidak kebobolan. Dia mengandaikan bank seperti rumah, harus memiliki pagar, kunci, hingga alarm yang baik. Hal itu untuk mencegah dana nasabah dijebol oleh debitur nakal.
Keamanan sistem tersebut dapat tercermin dari SOP perbankan dalam mengucurkan pembiayaan. Sigit mengatakan bahwa satu proposal kredit biasanya harus dikaji oleh berbagai pihak sebelum disetujui.
Awalnya, proposal kredit dianalisis oleh account officer hingga account manager. Selanjutnya, proposal tersebut dikaji oleh bagian risiko. Jika kedua pihak, manajemen bisnis dan risiko, sudah menyetujui proposalnya, pemberian kredit ditentukan oleh petugas yang jabatannya lebih tinggi, seperti kepala cabang, kepala departemen, exclusive president, bahkan hingga tingkat direksi. Seluruh alur tersebut harus dijalankan sebelum debitur mendapatkan pembiayaan proyek.
Hal ini pun berlaku untuk pemberian kredit berdasarkan invoice atau tagihan. Menurut Sigit, pemberian kredit menggunakan invoice merupakan hal lazim di industri perbankan. “Jika debitur punya tagihan bisa diajukan ke bank untuk pembiayaan piutang atau receiveable financing, atau bill risk discounting,” kata Sigit kepada Katadata.co.id pada Kamis (1/10).
Tagihan atau invoice memiliki nilai dan dibayar oleh perusahaan yang bekerja sama dengan debitur. Dana yang dibayarkan akan masuk ke rekening bank. Namun untuk memperoleh kredit menggunakan invoice diperlukan dokumen yang cukup kuat, di antaranya perjanjian kredit, pengikatan piutang, dan surat pernyataan debitur dengan pihak yang diajak kerja sama.
Hal itu bukan berarti pihak bank harus menemui langsung pihak yang akan membayar kredit. Dalam kasus kredit fiktif Bank Permata, misalnya, pihak bank tidak harus langsung menghubungi Pertamina. Seluruh prosesnya dilaksanakan melalui debitur.
Debitur harus membuat pernyataan yang ditandanganai oleh pihak yang membayar, yaitu Pertamina, yang menyatakan setuju membayar tagihan ke rekening bank yang memberikan pembiayaan. Hal itu agar pemberian kredit tak bermasalah di kemudian hari.
Selain itu, debitur bisa mengajukan penambahan kredit tanpa perlu membuat proposal baru. Hal itu berlaku bagi nasabah yang telah dianalisis keperluan kreditnya. “Meski begitu, bank tetap harus cek semua risiko. Kalau tidak dicek, ada keteledoran, akan membuka suatu risiko,” ujarnya.
Sekretaris Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) Anika Faisal mengatakan, secara umum dalam praktik perbankan, SOP merupakan dokumen internal yang dibuat berdasarkan kewenangan direksi atau manajemen guna menjalankan roda perusahaan.
Oleh karena itu, masing-masing bank mempunya SOP yang disepakati dan dipatuhi manajemen serta karyawan sebagai acuan proses kerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit atau pegawai.
Dalam SOP ini pula, biasanya terkandung mitigasi risiko yang dirancang sedemikian rupa sehingga pengambilan keputusan dalam koridor risiko yang sudah diperhitungkan sesuai dengan rencana bisnis. Apalagi bank mempunyai tugas utama sebagai intermediasi dalam kegiatan ekonomi. Dalam kesehariannya harus mampu mengelola risiko yang timbul sebagai bagian dari tugas intermediasi tersebut.
Jadi, sangat wajar penerapan SOP tidak bisa dilakukan secara kaku. Ada kondisi tertentu yang mengharuskan manajemen mengeluarkan diskresi sepanjang melalui proses yang berlaku. Ini bagian dari tata kelola yang baik atau good corporate governance.
“Tata kelola yang baik merupakan hal yang sangat penting dan merupakan bagian mendasar dari penilaian Otoritas Jasa Keuangan atas kinerja bank,” kata Anika.
Dengan demikian, wajar bagi manajemen untuk melakukan deviasi terhadap SOP sesuai kewenangan direksi dengan mendasarkan pada anggaran dasar dan peraturan perusahaan, termasuk Peraturan OJK. Tanpa kewenangan tersebut, atau terlalu kaku dalam menerapkan SOP, bisa menghambat proses bisnis. Manajemen dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan terbaik berdasarkan “due care” yang menjadi fiduciary duty direksi dan komisaris.
Walau telah dibangun proses perbankan yang ketat, tetap saja ada kreditur nakal yang mencoba memanfaatkan celah SOP perbankan seperti Megah Jaya. Bahkan, si debitur berusaha mendapatkan kredit untuk proyek yang sama di tiga bank sekaligus atau triple financing.
“Nasabahnya memang jahat, etikanya jelek, harusnya dihukum paling berat, bukan pegawai bank. Itu jelas-jelas penipuan. Kalau hakim tidak lihat itu, menurut saya ada yang aneh,” kata Sigit.
Walau demikian, Sigit melanjutkan, pihak bank juga harus betul-betul menilai kemampuan debitur untuk membayar kredit. Jika tidak, uang yang diberikan akan sulit untuk ditagih. Hal itu bakal membuat bank dalam posisi yang lemah. Ketika bank mengecek dengan baik, debitur yang nakal seharusnya bisa diidentifikasi.
Menilai dari hal tersebut, Sigit melihat ada kelemahan internal Bank Permata dalam kasus kredit fiktif Megah Jaya. Hal itu menyebabkan delapan pegawai Bank Permata dijatuhi hukuman penjara.
Meski begitu, pegawai bank seharusnya tidak ditahan dan dijatuhi hukuman pidana. Menurut Sigit, aparat hukum semestinya berfokus pada perkara kreditur nakal yang menggunakan dana nasabah untuk kepentingan ekonomi mereka.
“Apalagi sudah terbukti bahwa pegawai bank tidak menikmati sogokan atau suap. Justru yang mendapatkan manfaat ekonomi, debiturnya, itu yang harus dikejar. Ada ketidakadilan di situ,” kata Sigit.
Agar pegawai bank bisa mendapat keadilan, Sigit menyarankan pihak pembela harus membuktikan sejak awal bahwa ada niat jelek dari debitur. Hal itu bisa dilihat dari pengajuan pembiayaan untuk proyek yang sama di tiga bank atau triple financing.
Selain itu, pegawai bank juga bisa membuktikan bahwa mereka tidak bersalah mendapatkan manfaat dari perbuatan debitur nakal. Hal itu bisa dibuktikan dari rekening pegawai bank yang tidak menerima uang sogokan atau suap dari kasus kredit fiktif.