Kalau Hanya untuk Menjaga Reputasi, Mendingan Saya Diam Saja

Muchamad Nafi
17 Mei 2023, 13:09
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Katadata/Joshua Siringo ringo
Menteri Keuangan Sri Mulyani

Badan Kesehatan Dunia, WHO, mencabut status kedaruratan Covid-19 pada 5 Mei lalu, setelah pandemi ini meluluhlantakkan sektor kesehatan, sosial, hingga ekonomi dunia dalam tiga tahun terakhir. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mencabut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, PPKM, pada 30 Desember 2022.

Keputusan tersebut diambil setelah melalui pertimbangan dan kajian panjang. Menurut Jokowi, Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan Covid-19 dengan baik, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi. “Kebijakan gas dan rem yang menyeimbangkan penanganan kesehatan dan perekonomian menjadi kunci keberhasilan kita,” kata Jokowi ketika itu.

Kebijakan ini yang dianggap Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai langkah khas Indonesia. Sebab, di awal dunia menghadapi Covid-19, tidak ada formula pasti. Beberapa negara maju, misalnya, relatif lebih longgar saat terjadi gelombang Covid-19. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Eropa tidak ketat dalam mewajibkan pemakaian masker. Walaupun setelah itu vaksisnasi dilakukan secara gencar, tingkat kematian di sana cukup besar.

Namun karena mobilitas masyarakat di tahun kedua pandemi tidak terlalu ketat, roda ekonomi cepat bergerak. “Ekonomi negara maju Amerika, Eropa, recovery-nya tahun 2021, tinggi sekali di semester kedua,” kata Sri Mulyani dalam wawancara khusus dengan Katadata di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (12/5).

Walau melakukan gas-rem, kondisi sosial Indonesia selama pandemi juga begitu tegang. Menurut Sri Mulyani, perlu terobosan-terobosan baru dan berani dalam membuat kebijakan di sektor kesehatan dan keuangan.

Salah satu kebijakan sangat krusial di awal Covid-19 yaitu memastikan anggaran penanganan wabah yang sangat besar mesti tersedia. Karenanya, menurut bendahara negara ini, game cahnger pertama ketika itu yakni langkah berani membongkar undang-undang keuangan negara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020.

Perppu ini tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Di dalam aturan inilah muncul klausul yang membolehkan defisit anggaran negara di APBN bisa melampaui 3 persen terhadap PDB menjadi 6 persen.

Bagi Sri Mulyani, langkah ini merupakan keberanian luar biasa. Sebab, Undang-Undang Keuangan Negara yang menjadi pilar kredibilitas kebijakan makro Indonesia sudah stabil dengan tidak pernah melewati defisit dari 3 persen.

“Kalau Anda sudah punya pondasi stabil dan sekarang berani membuka kotak pandora, itu gemetar. Yang membuka kotaknya gemetar, yang melihat juga ikut grogi,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani
Sri Mulyani (Instagram.com/smindrawati)

Menurut Anda, bagaimana perjalanan Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 tiga tahun ini?  

Sebagai bangsa, kita belajar banyak dari episode yang tidak lazim, tidak normal, extra ordinary ini. Kita tidak mau tiga tahun ini hanya lewat begitu saja. Memori manusia cenderung sangat pendek.

Mungkin nanti lebih buruk lagi ketika menjelang pemilu. Waktu kontestasi politik, semua dibicarakan seolah-olah tidak ada kejadian tiga tahun itu. Itu yang menyebabkan distorsi terhadap informasi, terhadap persepsi publik.

Konsekuensi dari jabatan Menteri Keuangan sangat kunci pada situasi itu. Jadi, tidak bisa menghindar, tidak bisa tidak. Menteri Keuangan itu harus bukan menjadi penghalang tapi ditantang utuk merespons dan antisipasi yang sebenarnnya sangat musykil, dalam situasi musykil.

Apa yang membedakan antara krisis akibat pandemi dan krisis-krisis sebelumnya?

Dalam era modern tidak pernah dihadapkan pada tantangan yang demikan. Krisis 1997/98 atau 2008/2009 itu dipicu dan berasal dari sektor keuangan. Orang keuangan tahu kalau neracanya rusak kemudian menimbuulkan dampak domino kepada yang lain.

Namun sekarang yang kita hadapai itu Covid-19. Pertama, virusnya belum kita kenal, apakah SARS, H3N1 atau berapa, apa seperti dahulu atau sama sekali berbeda strain-nya. Dan virus ini berubah terus. Sehingga dinamika dampaknya sangat tidak terprediksi.

Perbedaan kedua dengan krisis keuangan, ini langsung mematikan orang. Itu berarti alaram, karena setiap negara tidak boleh dan tidak bisa membiarkan masyarakatnya terancam jiwanya. Artinya, at all cost harus diatasi.

Ketiga, kalau balance sheet, kita matikan dominonya dengan kita talangi, bail out yang paling penting. Sehingga dominonya tidak jatuh. Sehingga kita pasang talang di sini.

Kalau ini tidak, merambat ke manusia, belum ada vaksinnya. Masyarakat tiba-tiba tidak bisa berinteraksi, mati di grass root. Tidak ada yang bisa di-bailout, apa yang mau di-bailout? Jadi ini yang menimbulkan tantangan extra ordinary.

Saat saya menjadi menteri keuangan melihat, memahami tantangan pandemi itu. Membaca tahun 1918 waktu flu spanyol yang situasi dunianya tidak seperti sekarang. Sekarang globalize, terbang ke sana ke mari, tidak tahu siapa membawa apa. Itu menimbulkan suasana yang unprecedented dan extra ordinary.

Dalam, hal ini, kami mencoba memformulasikan. Kita pernah menghadapi krisis 1997/98, krisis 2008/2009 itu memberikan pembelajaran yang bisa kita pakai. Tapi karena nature dari persoalannya sangat berbeda, ya kita mengambil pelajaran yang lalu kemudian mempelajari tantangan yang berbeda ini dan kemudian mencoba memformulasikan.

Jadi, faktor pengubah “permainan” sebagai Menteri Keuangan ketika itu seperti apa?

Game cahnger pertama sebenarnyaa bukan masalah pengadaan vaksin atau belum ada vaksinnya. Game changer pertama adalah kita berani membongkar Undang-Undang Keuangan Negara, Perppu Nomor 1 itu.

Itu keberanian yang luar biasa, karena bagaimanapun Undang-Undang Keuangan Negara, perbendaharaan negara itu dibangun dalam sebuah fondasi reformasi yang menjadi pilar kredibilitas kebijakan makro Indonesia yan dianggap stabil.

Kalau Anda sudah punya fondasi stabil dan sekarang berani membuka kotak pandora, itu gemetar, Pak. Yang membuka kotaknya gemetar, yang melihat juga ikut grogi.

Jadi saya membukanya gemetar, menyampaikan di kabinet bahwa defisit maksimal 3 persen harus kita buka karena tidak ada pilihan. Kita harus bertanya juga apakah saya akan menjadi orang pertama dan menjadi tokoh yang akan merusak disiplin fisikal?

Kalau menjadi menteri keuangan untuk menjaga reputasi, mendingan saya diam saja. Tapi ini keterpaksaan yang harus dilakukan. Dan itu berpikir dua-tiga kali bagaimana cara membuka kotak pandora dan bisa menutupnya lagi.

Tidak ada yang memikirkan seperti itu di seluruh dunia. Karena saya selama itu banyak berdiskusi dengan banyak menteri keuangan. Seperti saya sering telepon Menteri Keuangaan Australia, kadang-kadang dengan Menteri Keuanagan Singapura. Kita melakukan zoom dengan berbagai negara.

Ketika itu, bagaimana situasi dunia dalam menghadapi pandemi ini?

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...