Perjuangan Foodbank Entaskan Kelaparan Warga Rentan saat Corona
Pandemi virus corona membawa pilu bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya Wartimah, seorang nenek berusia 88 tahun yang tinggal di daerah Cipulir, Jakarta Selatan.
Ia tak lagi bisa berjualan toge atau kecambah di Pasar Kebayoran Lama akibat pembatasan sosial yang berlaku di Jakarta. Alhasil mata pencahariannya pun hilang dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keadaan semakin memberatkan Wartimah lantaran tinggal seorang diri di bedeng miliknya yang berukuran 3x2 meter. Tempat yang sangat kecil jika dibandingkan gedung-gedung megah di Ibu Kota. Hanya mampu menjadi tempat menyimpan kasur dan peralatan masak sederhana.
Beruntung Wartimah terdaftar sebagai penerima bantuan rutin program pos pangan dari Foodbank of Indonesia (FOI). Hari itu (30/4), melalui tangan seorang relawan FOI bernama Rirahayau, ia menerima bantuan sembako berupa beras, minyak, dan sayur.
“Terima kasih, Nduk. Berkah untuk semua. Berkah untuk yang memberi. Simbah enggak usah beli lagi,” kata Wartimah kepada Rirahayu disertai raut bahagia.
Selama pandemi covid-19, FOI bekerja sama dengan gerakan #BagiAsa yang diinisiasi Katadata.co.id bersama Bisnis Indonesia, SWA, dan KBR untuk membagikan bansos berupa sembako ke kelompok rentan. Wartimah adalah salah satu dari ribuan lain penerima program #BagiAsa ini.
(Baca: Katadata dan Tiga Media Galang Dana Bagi Warga Miskin Terdampak Corona)
Dalam program #BagiAsa, selain sembako juga diberikan makanan siap saji yang disiapkan Accelerice. Program ini pun bisa berjalan karena kerja sama dengan kantor hukum Hendra Soenardi. Sampai saat ini (12/5), donasi publik yang terkumpul sudah berjumlah Rp 917.302.883 dan akan dirupakan bansos dalam bentuk sembako, makanan, serta alat pelindung diri (APD).
Di luar dari program #BagiAsa, selama pandemi corona FOI juga membuat program bantuan sembako dan makanan berbuka bagi kelompok rentan di 11 titik wilayah di Indonesia, seperti di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Solo Raya, dan Surabaya. Kelompok rentan yang termasuk sebagai penerima bantuan ini adalah lansia, anak-anak, dan pekerja informal.
“Kami intens memberikan bantuan dan menyiapkan 117 ribu sembako,” kata Wida Septarina, Ketua Yayasan Lumbung Pangan Indonesia yang menjadi bagian dari FOI, kepada Katadata.co.id, Selasa (12/5).
Bantuan yang mengalir melalui FOI seluruhnya berasal dari donatur. Salah duanya adalah Danone dan media Kompas yang menyumbang 1800 paket makanan untuk berbuka selama pandemi. Seluruh makanan tersebut dibagikan kepada pekerja informal yang berbuka di jalanan dan kelompok rentan lain.
“Setiap sore dua mobil pangan kita terus bergerak,” kata Wida.
(Baca: Donasi BagiAsa Menolong Kaum Lansia di Tengah Pandemi Covid-19)
FOI Lahir dari Keprihatinan atas Ketimpangan Pangan
FOI memang sebuah filantropi yang bergerak di bidang pengentasan kelaparan atau ketimpangan di negeri ini. Lemabaga ini berdiri pada 2015 lalu berkat inisiasi Hendro Utomo yang kini menjabat sebagai Dewan Pembina, Wida dan beberapa orang lainnya.
Wida bercerita, saat itu para pendiri FOI prihatin melihat paradoks bahwa banyak makanan terbuang atau food waste sekaligus banyak yang tak bisa makan di negeri ini. Sebuah hal yang menggambarkan secara nyata ketimpangan pangan sekaligus ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.
“Yang kaya berlebihan makanan sampai dibuang, tapi yang miskin sulit memenuhi gizi. Sangat menyedihkan,” kata Wida.
Data organisasi pangan dan agrikultur dunia (FAO) memang menempatkan Indonesia di peringkat kedua sebagai negara pemboros makanan pada 2019. Rata-rata orang Indonesia membuang 3 kuintal makanan per tahun. Angka ini hanya berbeda sedikit dari Saudi Arabia di urutan pertama yang rata-rata individunya membuang lebih kurang 4 kuintal per tahun.
Di sisi lain, data Global Hunger Index pada 2018 menyatakan Indonesia memiliki masalah kelaparan serius. Nilai Indonesia adalah 21,9 atau berada di peringkat 6 untuk kawasan ASEAN, di bawah Filipina (20,2), Myanmar (20,1), Vietnam (16,0), Malaysia (13,3), dan Thailand (10,4). Sementara secara global berada di peringkat 73.
Indikator yang memengaruhi peringkat tersebut adalah, kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting pada anak usia di bawah 5 tahun, kemarian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik.
(Baca: Kelaparan di Indonesia Perlu Perhatian)
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada 2018 angka stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Sementara hasil survei ekonomi nasional (Susenas) pada Maret 2019 dan studi status gizi balita Indonesia di tahun sama menyatakan, tingkat stunting dipengaruhi penanganan yang buruk sejak awal pada anak. Salah satunya penanganan dengan intervensi gizi spesifik, seperti pemberian air susu ibu (ASI). Angka prevalensi pemberian ASI eksklusif pada anak usia 0-5 bulan pada 2018 sebesar 44,36%. Angka ini meningkat menjadi 66,69% pada 2019.
“Anak-anak yang lapar dan tidak terpenuhi gizinya karena orangtuanya juga tidak terpenuhi. Kami ingin membantu pemerintah menyelesaikan persoalan ini,” kata Wida.
Saat memulai FOI, menurut Wida, belum ada food bank atau bank pangan lain di Indonesia. Membuat gerakan yang dilakukan sedikit sulit. Mengingat masyarakat belum terbiasa dengan istilah bank pangan, lebih-lebih food waste. Masyarakat masih mempersepsikan food waste sebagai makanan sisa yang tak layak makan. Sehingga gerakan ini dipandang miring.
Untuk menghilangkan persepsi miring masyarakat, maka Wida dan FOI menggunakan istilah makanan berlebih. Definisi dari makanan berlebih adalah makanan yang masih layak konsumsi tapi tak terkonsumsi dan pada akhirnya berpotensi terbuang.
Wida memisalkan makanan di supermarket yang tak terjual tapi kondisinya masih layak makan dan berpotensi dimusnahkan. Makanan tersebut lah yang disalurkan FOI ke masyarakat rentan. Selain itu, FOI juga membuat standar prosedur operasional (SOP) untuk memastikan makanan yang didistribusikan benar-benar layak.
“Kami tidak mau niat yang baik ini malah bikin orang keracunan,” kata Wida.
Sebelum dibagikan, menurut Wida, seluruh makanan dipastikan layak makan atau tidak basi dan mencukupi secara gizi. Makanan-makanan tersebut diolah dengan cara yang bersih dan sehat. Kemudian dibagikan dalam kemasan yang baik. Bukan dalam bungkusan kertas minyak, tapi wadah selayaknya makanan katering.
(Baca: Bolong Bansos Pemerintah di Kelas Menengah Bawah)
Ketika membagikan, kata Wida, relawan FOI pun diwajibkan menggunakan atribut. Hal ini berfungsi menghindarkan kecurigaan masyarakat kepada mereka. Sebab, selama ini pembagian makanan dan sembako lebih identik dilakukan politikus di tahun politik.
FOI pun melakukan pendataan secara ketat jumlah penerima dan donasi yang masuk. Seluruh data tersebut kemudian dilaporkan kepada publik melalui situs resmi dan akun media sosial. Dengan begitu, kata Wida, transparansi antara penerima dan pemberi donasi tetap terjaga.
Dengan kinerja semacam itu lah, FOI yang berangkat dari sebuah pos pangan di depan kantornya di Cilincing, kini telah memiliki 35 titik cabang di seluruh Indonesia dengan 700 orang relawan. Penerima manfaat yang terdaftar mencapai 17.000 orang.
“Seluruh relawan tidak dibayar. Kami bekerja secara kolektif. Semua yang bergerak dan membantu berdasarkan keprihatinan sama,” kata Wida.
FOI kini telah bekerja sama dengan pelbagai industri makanan, seperti Breadlife yang setiap hari memberikan roti untuk disalurkan kepada kelompok rentan. Sementara untuk penyaluran bekerja sama dengan perusahaan logistik JNE.
(Baca: Anies dan Pemerintah Pusat Selisih Tangani Corona, Dampaknya ke Publik)
Memastikan Generasi Penerus Bangsa Bergizi
Saat berbicara dengan kami, Wida menekankan pentingnya kecukupan gizi bagi anak-anak. Sebab mereka adalah generasi penerus bangsa yang menurutnya, apabila tak tercukupi gizinya maka pertumbuhannya akan terganggu dan menghambat kemajuan negara ini di masa depan. Sedangkan, hasil survei internal FOI menyatakan 50% anak usia sekolah di negeri ini berangkat ke sekolah dalam kondisi perut lapar.
Faktor yang menyebabkan mereka berangkat dalam kondisi lapar, kata Wida, cukup beragam. Dari faktor ekonomi yang tak mencukupi untuk menyediakan sarapan, sampai orangtua yang terlalu sibuk. Sementara, penelitian lanjutannya menyatakan anak-anak yang lapar ini kurang konsentrasi ketika di sekolah. Pelajaran pun tak dapat diserap dengan sempurna.
Masalahnya, kata Wida, tak semua sekolah di negeri ini menyediakan fasilitas makanan untuk anak didiknya. Hanya sekolah swasta bertarif mahal yang menyediakannya. Sehingga, banyak anak usia sekolah dari golongan ekonomi rentan tak tercukupi gizinya.
Oleh karena itu, FOI membuat program Mentari Bangsaku yang menyediakan makanan sehat untuk anak usia sekolah dua tahun lalu. Sekolah pertama yang menjadi lokasi program ini adalah SD Gandaria 11, Jakarta Selatan.
“Seminggu sekali mereka minum susu dan makan makanan bergizi bersama,” kata Wida.
(Baca: Krisis Pangan Dunia Menghantui Indonesia)
Perubahan pun terjadi. Dari evaluasi pelaksanaan program di sekolah itu, peserta didik mengalami peningkatan gizi seperti mayoritas berat badannya menjadi proporsional. Para guru pun melaporkan sejak program ini berjalan prestasi siswa meningkat.
Tak hanya itu, guru-guru dan wali murid di sekolah itu kini menjadi relawan FOI. Mereka mendirikan pos pangan dan menyalurkan makanan kepada masyarakat miskin di sekitar sekolah. Berubah dari penerima menjadi pemberi.
“Ini yang kami harapkan. Membangkitkan lagi semangat gotong royong. People helping people,” kata Wida.
FOI bekerja sama pula dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam program Kampung Anak Sejahtera di desa-desa. Saat ini program sudah berjalan di 8 wilayah kabupaten/kota dan rencananya setelah pandemi bertambah.
(Baca: Melihat Beragam Bansos yang Disiapkan Jokowi Selama Pandemi Covid-19)
Berharap Pemerintah Terbitkan Aturan FoodBank
Meskipun gerakan FOI telah berjalan luas di wilayah Indonesia, Wida masih berharap pemerintah menaruh perhatian pada pengentasan ketimpangan pangan. Salah satunya dengan membuat aturan foodbank seperti halnya di banyak negara Eropa. Apalagi saat ini sudah mulai banyak foodbank di Indonesia.
Wida menyatakan, Prancis bisa menjadi contoh negara yang menerapkan aturan foodbank. Di sana pemerintah mewajibkan gerai makanan menyumbangkan makanan sisa harian atau bulanan mereka kepada foodbank untuk kemudian disalurkan kepada kelompok rentan. Sebagai timbal balik, para pengusaha industri makanan tersebut mendapat keringanan pajak.
“Dengan begitu pegawai gerai tak perlu khawatir terkena masalah dari pemilik ketika mendonasikan makanannya. Karena sudah dijamin pemerintah,” kata Wida.
Terlepas dari itu, kata Wida, regulasi semacam ini penting untuk mewujudkan tujuan FOI membebaskan Indonesia dari ketimpangan pangan. Agar semua orang kenyang dan tak ada lagi makanan terbuang.
“Kami ingin ke depan 100% kelurahan memiliki foodbank, semua orang bergotong royong mengentaskan kelaparan,”kata Wida.
(Baca: PGN Salurkan Bantuan Sembako untuk Dapur Umum di Krukut)