MK Tolak Uji Materi Terkait Pemilu Serentak 2024

Rezza Aji Pratama
24 November 2021, 19:44
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilkada Kota Makassar di TPS 24, Kelurahan Panakukang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (9/12/2020). Proses penghitungan suara tersebut tetap menerapkan protokol kesehatan guna mengantisipasi penularan COVID-19.
ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/wsj.
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilkada Kota Makassar di TPS 24, Kelurahan Panakukang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (9/12/2020).

Mahkamah Konstitusi menolak permintaan uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Permintaan tersebut diajukan oleh empat orang petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc pada tahun 2019.

Keempat pemohon itu adalah Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan dan Subur Makmur. Secara spesifik mereka meminta Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dan Pasal 347 ayat (1) UU nomor 7 tahun 2017 untuk diuji. Permohonan diajukan karena pemilu secara serentak dianggap sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi.

Pemohon merujuk pada data dari KPU yang menyampaikan sebanyak 894 penyelenggara tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia saat Pemilu 2019. Selain itu, 5.175 anggota sakit akibat kelelahan saat persiapan penyelenggaraan Pilkada 2020.

Dalam putusan dengan nomor 16/PUU-XIX/2021, majelis menilai beban berat yang terjadi dalam pemilu serentak merupakan kendala teknis dan manajemen atau tata kelola pemilihan umum yang menjadi faktor penting kesuksesan pemilu serentak. Majelis mengatakan apapun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang sangat bergantung pada manajemen pemilu yang dibuat oleh penyelenggara.

"Secara teknis, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dengan struktur yang dimiliki saat ini justru lebih memiliki kesempatan untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala," ujar Majelis dalam putusan tersebut.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai beban yang dimiliki oleh para penyelenggara cukup berat karena banyaknya proses yang harus dilalui. Selain itu, keterlambatan logistik atau tempat pemungutan suara yang tidak memadai juga semakin membebani para petugas. Hal ini kemudian menjadi sorotan Komnas HAM khususnya pada kelompok perempuan atau kelompok disabilitas yang menjadi petugas di dalam pemungutan suara.

Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM RI Hairansyah mengatakan KPU harus memaksimalkan teknologi untuk meminimalisir jatuhnya korban dalam gelaran Pemilu 2024 mendatang. Hardiansyah meminta agar ada regulasi yang mengatur pememanfaatan sistem e-voting atau perhitungan suara secara elektronik (e-counting). Hal ini kemudian menjadi tugas KPU untuk menerjemahkan instrumen tersebut untuk menghindari beban yang terlalu berlebihan bagi penyelenggara tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Hairansyah mengatakan KPU harus memastikan kesehatan para penyelenggara dengan menjalin kerja sama dengan fasilitas-fasilitas kesehatan. Kemudian perlu juga dipastikannya integrasi terhadap para penyelenggara pemilu. Hal ini karena dalam beberapa kasus sebelumnya para penyelenggara mendapat tekanan luar biasa dari partai politik yang ingin memenangkan kontestasi.

"Petugas itu menjadi cemas karena harus menghadapi persaingan politik yang cukup tinggi rivalitasnya , tapi disisi lain juga harus menghadapi administrasi," ujar Hairansyah dalam diskusi virtual pada Senin (1/11).

Reporter: Nuhansa Mikrefin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...