RUU PPP Disahkan Jadi Usul DPR Meski Ditolak PKS
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Revisi UU PPP) menjadi RUU Usul DPR dalam Rapat Paripurna pada Selasa (8/2). Revisi UU PPP disetujui meski ada penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS).
Revisi UU PPP menjadi salah satu langkah bagi DPR untuk memuluskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), setelah diputus inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apakah RUU Usul Inisiatif Badan Legislasi DPR RI tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat disetujui menjadi RUU usul DPR?" ujar Wakil Ketua DPR Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan Rapat Paripurna pada Selasa (8/2).
"Setuju," ujar peserta rapat.
Sementara itu, Fraksi PKS menyatakan menolak revisi UU PPP disahkan menjadi RUU Usul DPR. Sejatinya pandangan setiap Fraksi disampaikan secara tertulis. Namun, Anggota Komisi VIII Fraksi PKS Bukhori Yusuf meminta agar PKS diberi kesempatan waktu untuk membacakan pandangan fraksi.
"Kalau fraksi-fraksi yang lain sepakat untuk diserahkan secara tertulis. Silahkan untuk fraksi PKS membacakan sendiri waktu kami persilahkan untuk juru bicara PKS silahkan maju kedepan," ujar Dasco.
Saat membacakan pandangan Fraksi, Bukhori mengatakan PKS menolak untuk dilakukan pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna hari ini sebelum dilakukan perbaikan yang menjadi catatan penting Fraksi PKS terhadap Revisi UU PPP.
Beberapa diantaranya pertama adalah PKS menegaskan Revisi UU PPP tidak dimaksudkan semata-mata memberikan payung hukum terhadap UU Cipta Kerja. PKS mengatakan Revisi UU PPP seharusnya sebagai upaya untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka perbaikan kualitas legislasi.
PKS kemudian mengusulkan sejumlah prasyarat penggunaan Metode Omnibus. Pertama Metode Omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang atau satu topik khusus tertentu atau kluster.
Kedua bahwa diperlukan pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus. Hal ini agar penyusunannya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik.