• Izin lokasi PT Kayan Hydro Energi (KHE) untuk proyek PLTA Kayan akan segera habis pada 20 Februari 2022. 
  • PT KHE mengandalkan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Kementerian ATR yang merupakan produk turunan UU Cipta Kerja sebagai pengganti izin lokasi.
  • Perkembangan proyek yang lambat dalam 10 tahun terakhir membuat perusahaan asal Australia juga mengincar Sungai Kayan untuk dikembangkan menjadi PLTA. 

Yohanes (61) tidak bisa melupakan pengalamannya ketika menyaksikan langsung bendungan Three Gorges di Hubei, Cina pada 2013 silam. Itu pertama kalinya ia pelesir ke luar negeri. Yohanes menghabiskan nyaris seumur hidupnya di Desa Long Peleban, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Ini desa terpencil di tepi Sungai Kayan yang tak punya akses listrik 24 jam dan sinyal seluler.

Sejak 2010, Yohanes mendengar desas-desus soal rencana pembangunan mega proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Kayan. Proyek setrum berkapasitas total 9.000 megawatt ini didanai oleh investor Cina. Menurut rencana akan ada lima bendungan yang dibangun dengan nilai investasi sekitar Rp 320 triliun.

Ketika mendengar rencana itu, Yohanes mengaku gelisah. Desa Long Peleban dan Long Lejuh akan ditenggelamkan untuk dijadikan bendungan. Ada terlalu banyak aspek sejarah berharga di kedua desa itu. Long Peleban sudah dihuni sejak 1920-an oleh masyarakat adat Dayak Kenyah yang bermigrasi dari hulu Sungai Kayan.

Yohanes yang kala itu menjadi Ketua Adat di Long Peleban tidak bisa begitu saja menerima keputusan itu. Namun, PT Kayan Hydro Energi yang menjadi pelaksana proyek PLTA Kayan gigih meyakinkan Yohanes dan warga desa lainnya. Pada 2013, Yohanes dan sejumlah pejabat daerah lainnya diboyong ke Cina. Mereka singgah dari kota ke kota di Cina Daratan sebelum akhirnya menikmati menu utama; bendungan Three Gorges.

“Saya sampai tidak bisa berkata-kata. Bendungan itu sangat besar dan megah,” cerita Yohanes, kepada Katadata.

Sepulangnya dari Cina, Yohanes mulai melunak. Ia ikut meyakinkan warga Desa Long Peleban agar mau pindah. “Yang penting masyarakat mendapat ganti rugi yang pantas,” katanya.

Sungai Kayan

Terhambat Regulasi

Meliuk-liuk bak ular raksasa, Sungai Kayan mengalir sepanjang 476 kilometer membelah hutan hujan Kalimantan. Hulunya ditandai oleh jeram-jeram setinggi rumah di Long Ampung, Malinau Selatan hingga bermuara di Laut Sulawesi. Selama ratusan bahkan ribuan tahun, Sungai Kayan jadi jalur transportasi utama.

Warga desa biasanya menggunakan ketinting, perahu kayu berporos panjang, untuk mengangkut hasil panen atau sekadar mengunjungi wilayah sekitar. Ponton-ponton jumbo yang menggendong gelondongan kayu juga biasa hilir mudik. Sungai Kayan semacam jalan tol alami tempat orang bermigrasi. Membendung Kayan akan menjadi proyek yang luar biasa besar tantangannya.

Guna merealisasikan proyek raksasa itu, PT KHE perlu bolak-balik Jakarta-Kaltara untuk mengurus berbagai perizinan. Khaerony, Direktur PT KHE, mengatakan setidaknya ada 24 izin yang harus diperoleh perusahaan. Pada Februari 2012, Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan izin lokasi seluas 190.600 hektare kepada PT KHE. Izin itu melingkupi sejumlah kawasan hutan produksi terbatas, hutan lindung, dan area penggunaan lain (APL).

Setelah 10 tahun berlalu sejak perusahaan memperoleh izin lokasi, perkembangan proyek PLTA Kayan justru berjalan lambat. Kala Katadata berkunjung ke lokasi proyek pada Januari 2021 silam, aktivitas konstruksi belum nampak terlihat. Hanya ada empat buah gudang kontainer tanpa satupun petugas yang berjaga. Kepala Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bulungan Iwan Sugianta mengkonfirmasi tidak banyak perkembangan konstruksi sejak pandemi Covid-19.

“Sekarang di lokasi proyek ada tambahan plang peringatan saja,” katanya saat dihubungi Katadata, (6/2).

Iwan melanjutkan izin lokasi PT KHE bahkan akan habis pada 20 Februari 2022 ini. Namun hingga saat ini perkembangan konstruksi belum memuaskan. Menurut Iwan, Pemkab berencana mengevaluasi keseriusan PT KHE. Apalagi menurutnya, sejumlah investor baru sudah menyatakan ketertarikannya untuk menggarap proyek ini.

“Kalau izin lokasi habis ya mereka tidak bisa beraktivitas di lokasi,” kata Iwan.

Namun, perusahaan punya pendapat berbeda. Direktur PT KHE, Khaerony, mengklaim izin lokasi yang sudah kedaluwarsa tidak berdampak pada aktivitas perusahaan. Pasalnya, PT KHE sudah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).

Masalahnya, PKKPR merupakan produk turunan Undang-Undang no. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dicap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. PKKPR diproyeksikan menjadi pengganti izin lokasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan KKPR merupakan salah satu perizinan dasar yang diamanatkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja.

"Penyelenggaraan penataan ruang mengacu pada amanat Undang-undang Cipta Kerja, salah satunya terkait peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, " kata Kamarzuki, dalam sosialisasi regulasi ini September 2021 silam.

Meskipun UU Cipta Kerja yang menaungi PP ini sudah dinyatakan inkonstitusional, PT KHE beranggapan perusahaan masih bisa mengacu pada regulasi tersebut.

“Kan masih tetap berlaku,” kata Rony.

Peta DAS Kayan

Sejumlah pakar hukum yang dihubungi Katadata punya tafsir berbeda atas persoalan ini. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan persoalan itu menunjukkan dampak yang menyertai UU Cipta Kerja yang bermasalah. Ia menyebut dokumen PKKPR yang perusahaan miliki memang tidak terkait dengan putusan MK yang membekukan UU Cipta Kerja.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement