Gas Bumi Sebagai Game Changer Tata Kelola Energi Nasional

Irnanda Laksanawan
Oleh Irnanda Laksanawan
13 Juni 2022, 12:30
Irnanda Laksanawan
Katadata

Gejolak kenaikan harga energi dan komoditas global akibat konflik Rusia-Ukraina berdampak pada membengkaknya anggaran negara. APBN 2022 disusun dengan asumsi harga acuan minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel dengan alokasi subsidi energi sebesar Rp 134 triliun. Harga ICP yang melonjak sampai US$ 100 per barel, memaksa pemerintah mengusulkan tambahan subsidi energi dan kompensasi sebesar Rp 291 triliun. 

Beban subsidi energi plus kompensasi menjadi Rp 443,6 triliun, naik 3 kali lipat dari alokasi APBN 2022 sebesar Rp 152,5 triliun. DPR kemudian menyetujui perubahan asumsi harga minyak mentah Indonesia menjadi US$ 100 per barel. Postur APBN 2022 juga direvisi dari Rp 1.846 triliun menjadi Rp 2.266 triliun. Revisi ini juga mempertimbangkan potensi penambahan pajak sebesar Rp 274 triliun dan PNBP sebesar Rp 146 triliun. 

Sebagai upaya untuk menahan gejolak harga, persetujuan DPR ini layak diapresiasi sebagai bentuk keberpihakan negara untuk menjaga daya beli masyarakat. Presiden RI Jokowi juga menegaskan bahwa keputusan pemerintah menahan harga energi ini untuk mengendalikan tingkat inflasi. Namun sampai kapan kita bisa menahan ini?

Sebagai solusi jangka pendek, menambah subsidi dan kompensasi ini dianggap tepat untuk menjaga agar harga BBM dan listrik tidak naik. Namun harus dipikirkan strategi yang lebih fundamental agar subsidi energi tidak makin besar di masa mendatang.

Ketergantungan Minyak Bumi dan Defisit Neraca Migas

Meskipun gejolak harga energi sudah terjadi berulang kali, faktanya pondasi sektor energi kita masih bertumpu pada minyak bumi. Konsumsi minyak mentah sekitar 1,4 juta barel per hari (bph). Di sisi lain, tren lifting minyak dalam 10 tahun terakhir terus turun, sekitar 700-800 ribu bph. Adapun kebutuhan BBM sekitar 1,45 juta bph, sedangkan kapasitas kilang domestik sebesar 1,1 juta bph dengan kemampuan memproduksi BBM sebesar 729.000 bph. 

Sebagai negara net importir, defisit suplai minyak mentah dan BBM domestik justru menyebabkan kenaikan impor yang makin membebani devisa negara. Di tahun 2021, nilai impor minyak mentah dan BBM lebih dari US$ 22 miliar. Defisit neraca migas sepanjang tahun 2021 mencapai US$ 13,25 miliar atau setara Rp 189 triliun.

Upaya menggenjot eksplorasi dan produksi butuh waktu yang tidak singkat. Data menunjukkan lead time dari discovery hingga produksi membutuhkan waktu 10,5 tahun. Proyek peningkatan kapasitas kilang domestik RDMP diproyeksikan baru on stream di tahun 2024. Sedangkan akselerasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga belum menunjukkan realisasi yang significant. Realisasi EBT pada bauran energi primer tahun 2021 baru 11,5%.

Gas Bumi sebagai "Game Changer

Meskipun saat ini dunia masih memanfaatkan energi berbasis fosil, tetapi tantangan perubahan iklim dan tren transisi energi global melalui penggunaan EBT secara masif semakin membatasi industri migas, khususnya selektivitas pendanaan ke arah green investment

Halaman:
Irnanda Laksanawan
Irnanda Laksanawan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...