- Presiden Joko Widodo akhirnya mengakomodir PAN di kabinetnya setelah partai itu resmi mendeklarasikan dukungan pada Agustus 2021 silam.
- Presiden dikabarkan akan melakukan perombakan kabinet lagi dengan menambah sejumlah pos wakil menteri.
- Dinamika politik menjelang 2024 kian memanas seiring dengan ambisi sejumlah menteri di kabinet Jokowi yang ingin maju di Pilpres mendatang.
Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) resmi bergabung dengan koalisi partai pendukung pemerintah sejak Agustus 2021, isu kocok ulang kabinet atau reshuffle kian santer terdengar. Banyak pihak memprediksi PAN akan dapat jatah menteri di kabinet Presiden Jokowi. Sepanjang akhir tahun itu, isu reshuffle muncul dan tenggelam. Bukan sekali dua kali nama-nama petinggi PAN masuk dalam bursa menteri.
Butuh waktu 10 bulan bagi Presiden Jokowi sebelum akhirnya mantap memberikan satu kursi menteri kepada PAN. Ketua Umum Partai, Zulkifli Hasan, didapuk jadi Menteri Perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi. Ini memang bukan kejutan. Kasak-kusuk di lingkaran elit partai menyebut Zulhas sudah jauh-jauh hari diajukan kepada Presiden sebagai menteri.
Selain Zulhas, Presiden juga mengangkat mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto menjadi Menteri ATR/BPN, menggantikan birokrat gaek Sofyan Djalil. Kedekatan Hadi dan Jokowi memang bukan perkara baru.
“Sepertinya Presiden terkesan dengan kinerja Hadi saat menjadi Komandan Lapangan MotoGP Mandalika,” kata Dominique Nicky Fahrizal, peneliti politik di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) kepada Katadata.
Perombakan kabinet juga terjadi di posisi wakil menteri. Perwakilan PSI, Raja Juli Antoni masuk jadi Wakil Menteri Hadi menggantikan koleganya Surya Tjandra. Selain itu, Presiden juga menempatkan Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Kabar beredar, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra sudah melobi Presiden untuk memasukkan kadernya di jajaran kabinet sejak setahun lalu.
Menurut Nicky, masuknya kader PBB sejatinya sudah bisa ditebak. PBB memang menjadi salah satu partai politik yang mengusung Jokowi saat Pemilu 2019 silam. Namun, baru kali ini Presiden mengakomodir kader PBB di lingkaran kabinet.
Masuknya PAN dan PBB di kabinet praktis membuat gemuk koalisi partai pendukung pemerintah. Dari 12 partai utama di Indonesia, kini cuma Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang konsisten di luar lingkaran Presiden.
“Ini sebetulnya tidak terlepas dari politik kita yang bergantung pada perimbangan kekuatan parpol. Siapapun presidennya memang harus menjaga harmoni,” kata Nicky.
Koalisi pemerintah juga mendominasi kursi di parlemen. Koalisi pemerintah kini memiliki total 471 kursi atau 81,9% dari total kursi di parlemen. Pada periode sebelumnya, koalisi pemerintah memiliki lebih sedikit kursi di parlemen daripada oposisi. Koalisi pemerintah hanya memiliki 36,96% kursi dan koalisi oposisi 52,14% kursi dalam DPR periode 2014-2019. Saat itu, Demokrat yang memiliki 61 kursi (10,89%) mengambil posisi penyeimbang. Sementara, komposisi antara kekuasaan koalisi pemerintah di parlemen juga tidak pernah sebesar ini pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada periode 2004-2009, koalisi pemerintah memiliki 404 kursi atau 73,45% dari total kursi parlemen. Koalisi pemerintah lalu bertambah menjadi 423 kursi atau 75,53% pada periode 2009-2014.
Koalisi Jelang 2024
Sepekan sebelum Presiden melakukan reshuffle, sejumlah partai politik mulai melakukan manuver menyambut Pemilu 2024. PAN, Golkar dan PPP resmi membentuk koalisi. Para elit menyebutnya Koalisi Indonesia Bersatu.
Peneliti CSIS Nicky Fahrizal menilai bukan kebetulan reshuffle dilakukan tak lama setelah ketiga partai ini membentuk koalisi. Dalam sejumlah kesempatan, Golkar secara terang-terangan ingin mengusung Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai calon presiden di 2014. PAN juga berkali-kali menyinggung peluang Zulhas untuk maju di Pilpres 2024.
“Boleh dibilang Pak Zulhas in sedang dites Jokowi apakah bisa tetap loyal di 2024,” kata Nicky.
Dinamika pencalonan presiden memang kian memanas beberapa waktu ke belakang. Sejumlah nama yang dijagokan bahkan berasal dari lingkaran kabinet Jokowi. Partai Gerindra kemungkinan besar masih akan mengusung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Selain itu, ada juga Menteri Perkonomian Airlangga Hartarto dan kini ketambahan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Menurut Nicky, berbagai peristiwa penting yang terjadi belakangan membuat Presiden akhirnya melakukan reshuffle. Kinerja Mendag Muhammad Lutfi yang tertekan kisruh isu minyak goreng dan harga pangan serta manuver politik partai jelang 2024 membuat saat ini menjadi momen yang tepat untuk mengubah komposisi kabinet.
Porsi Wamen, Kebutuhan atau Gimmick Politik
Salah satu kejutan dalam reshuffle kali ini adalah tidak diakomodirnya kader Gerindra. Selasa Malam (14/6), kasak-kusuk di lingkaran elit partai sebetulnya sudah meyakini Rahayu Saraswati Djojohadikusumo akan dilantik sebagai Wakil Menteri Koperasi dan UKM. Namun, saat pelantikan keesokan harinya, namanya tidak ada dalam jajaran personel kabinet baru.
Sejumlah sumber Katadata menyebut Rahayu bukan batal dijadikan Wamen. Namun, pelantikannya hanya diundur hingga waktu yang belum ditentukan. Mengutip D’insight Katadata, Presiden Jokowi dikabarkan akan melakukan perombakan kabinet lagi dalam waktu dekat.
Sumber D’insigth menyebut Jokowi akan memilih delapan wakil menteri baru dan sejumlah menteri dari partai koalisi. PDIP misalnya, dikabarkan meminta dua kursi tambahan di kabinet, baik berupa wamen maupun menteri.
“Kemungkinan memang akan ada penambahan Wamen baru ke depan,” kata Nicky.
Pendapat perbeda diungkapkan oleh pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin memprediksi kemungkinan kecil Presiden akan kembali melakukan reshuffle. Menurutnya, saat ini sudah memasuki tahun politik di mana partai-partai sudah memulai gerilya menuju 2024.
“Waktunya sudah mepet. Sekarang tinggal bagaimana Pak Jokowi menjaga ritme kabinetnya,” kata Ujang.
Ujang menilai reshuffle kali ini sebatas politik akomodatif semata, terutama untuk mengamankan dukungan ketua umum partai menjelang Pemilu 2024. Salah satu indikatornya adalah perombakan terbatas yang hanya mengganti dua menteri saja. Padahal, menurut Ujang masih banyak menteri-menteri lain yang kinerjanya jeblok.
“Ini politik bagi-bagi jabatan saja. Karena ada yang masuk koalisi jadi harus diakomodir. Itu hal yang biasa dalam politik,” kata Ujang.
Ujang juga berpendapat jabatan wakil menteri dibuat hanya untuk mengakomodasi partai koalisi saja. “Banyak juga wamen yang tidak jelas kerjanya,” ujarnya.
Sementara itu, dalam survei Charta Politica, sebagian besar masyarakat setuju dengan reshuffle yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Kritik Oposisi
Kritik juga datang dari barisan oposisi. Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menilai, reshuffle kabinet yang dilakukan Jokowi hanya untuk memuaskan partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah, seperti balas jasa karena telah mendukungnya.
“Reshuffle ini hanya untuk mengakomodir kepentingan orang dekat dan partai politik koalisi pemerintah,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (16/6).
Menurut Kahar, hanya dua menteri yang diganti mengindikasikan reshuffle dilakukan bukan untuk menyelesaikan permasalahan atau untuk mengoptimalkan kinerja pemerintah di akhir masa jabatan.
Kamhar pun menilai hasil perombakan kurang menekankan sosok profesional, sehingga publik tak dapat berharap banyak bahwa para menteri dan wakil menteri terpilih akan membawa perubahan lebih baik.
Kritik terhadap perombakan kabinet juga dilontarkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS, Aboe Bakar Al’Habsyi mengungkapkan bahwa reshuffle dapat menunjukkan beragam makna.
Pertama, reshuffle dapat memberikan makna bahwa Jokowi ingin melakukan perbaikan ekonomi dengan mengganti Mendag. Sedangkan untuk pergantian Menteri ATR/ BPN, dapat memberikan makna bahwa Presiden ingin mempercepat masuknya investasi ke Indonesia.
Kemudian reshuffle yang baru dilakukan juga dapat memberikan makna bahwa presiden sedang membayar utang politiknya dengan membagikan kekuasaan kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan.
Indikator ini dapat terlihat dari beberapa pimpinan partai yang memperoleh jabatan di kabinet. “Publik bisa saja melihat reshuffle ini seperti bagi bagi kue buat mereka yang sudah berkeringat tapi selama ini belum mendapatkan porsi,” kata Aboe dalam keterangannya pada Rabu (15/6).