Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun

Baru dua dekade lalu masyarakat Aik Berik terpaksa merambah hutan untuk bertahan hidup. Kini, mereka beralih menjaga hutan melalui ekowisata yang rupanya bisa menjamin kesejahteraan.
Hanna Farah Vania
8 Juni 2023, 19:03
Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun
Katadata
Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun

Kicauan burung terdengar sahut-menyahut ketika Marwi mengajak Tim Katadata menyusuri jalan makadam menuju Air Terjun Benang Stokel di kaki Gunung Rinjani. Rabu (25/1) siang itu, matahari terik menyengat tetapi semilir angin membuat udara tetap terasa nyaman. Kanopi hutan yang rimbun menaungi perjalanan menuju air terjun. Sesekali, gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) terlihat bermain-main di kanopi hutan dengan suaranya yang khas.

Marwi (61) merupakan Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rimba Lestari, yang kini menjadi pengelola wisata Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu. Dalam perjalanan menuju air terjun, kami kerap kali bertemu dengan para petani yang berladang di sekitar kawasan wisata.

“Di sini komoditas andalannya pisang, kopi, dan durian,” kata Marwi.

Air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu kini menjadi salah satu primadona wisata di kaki Gunung Rinjani. Secara administratif, lokasi wisata ini berada di kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Aik Berik, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Namun siapa sangka, 20 tahun silam pembalakan liar justru menjadi tren utama di Aik Berik.

Di antara semilir angin, dahan pepohonan yang menjuntai, dan teriakan monyet yang bersahutan, Marwi mengenang kembali perjuangannya menghentikan pembalakan liar hingga menginisiasi ekowisata air terjun.

Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun
Jalan menuju Benang Stokel yang berada di kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Aik Berik. (Hanna Farah Vania/Katadata)
 

Marwi bercerita 20 sampai 30 tahun lalu, kondisi Aik Berik tidak seperti saat ini. Pada era 1990-2000-an, masih banyak warga yang merambah hutan. Polisi dan petugas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) bahkan beberapa kali menangkap warga yang kedapatan menebang pohon di kawasan taman nasional.

“Dulu masyarakat hidupnya miskin. Jadi tidak punya pilihan,” kata Marwi.

Menurut Marwi, kala itu warga hanya mengandalkan hasil hutan untuk bertahan hidup. Jika sedang beruntung, mereka hanya mengantongi Rp 30.000 setiap bulannya. Beberapa warga memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sementara mereka yang memilih bertahan, tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidup.

Menebang pohon pun menjadi pilihan cepat untuk mendapatkan uang. Menurut Marwi, saat itu warga belum memahami pentingnya merawat hutan. “Kami paham sudut pandang para penegak hukum Gunung Rinjani, tapi tangkap-menangkap bukan solusi,” kata Marwi.

Menyiasati kondisi tersebut, Marwi dan sejumlah tokoh lainnya pun mencari cara untuk melindungi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama dengan menjalin komunikasi intensif dengan pengelola TNGR. Proses dialog berjalan hingga lima tahun sejak tahun 2000.

Para tokoh warga bekerja sama dengan otoritas setempat untuk mengedukasi masyarakat melalui pendidikan kritis. Selanjutnya, TNGR dan warga pun berkolaborasi melakukan pemetaan kawasan. Hasilnya, Aik Berik pun mendapat izin pengelolaan hutan sementara pada 2005 oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan NTB.

Menurut Kepala Resort Setiling-Aik Berik Taman Nasional Joko Subiantoro, kawasan TNGR sendiri memiliki pembagian kawasan untuk perlindungan hutan. “Saat ini, sabuknya TNGR adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), perkampungan, HKm, kemudian hutan lindung, baru taman nasional,” kata Joko.

Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun
Lebatnya pepohonan di Hutan Kemasyarakatan (HKm) Aik Berik. (Hanna Farah Vania/Katadata)

Akhirnya, para perintis mendapatkan Izin Tetap Penetapan Areal Kerja (PAK) yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan pada 2007. Masyarakat mulai berkelompok dan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) yang dinaungi oleh Gapoktan Rimba Lestari.

Selanjutnya, Bupati Lombok Tengah menandatangani Surat Keputusan (SK) Nomor 155 Tahun 2010 Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan HKm (HKm). Masyarakat diperbolehkan mengelola kawasan seluas 842 ha.

Skema ini memberikan kepastian hukum bagi para KTH untuk merawat sekaligus memanfaatkan hasil hutan. Dari hasil kesepakatan, terbentuk dua pembagian zona. Ada zona pemanfaatan sebagai wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk nilai ekonomi dan zona perlindungan untuk penyangga hutan yang tidak boleh dikelola.

Hasil kolaborasi Gapoktan Rimba Lestari dan Pengelola TNGR juga membuahkan lembaga perlindungan hutan. Kini, Desa Aik Berik memiliki Kelompok Sadar Lingkungan bernama Umar Maye.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...