6 Cara Menulis Cerpen, Lengkap dengan Jenis dan Contohnya

Ghina Aulia
16 Januari 2024, 16:05
Cara menulis cerpen.
Unsplash
Ilustrasi, menulis cerpen.
Button AI Summarize

Cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek. Istilah tersebut mengacu pada tulisan berupa cerita dengan karakter paling panjang sepuluh ribu.

Umumnya cerpen termuat pada majalah, surat kabar, buku pelajaran, dan media literasi lainnya. Cerpen juga akrab dengan mata pelajaran bahasa Indonesia yang diterima siswa sekal Sekolah Dasar (SD).

Tak jarang guru memberikan tugas mengarang cerpen untuk melatih kemampuan menulis dan meningkatkan kreativitas siswa. Maka dari itu, penting untuk mengetahui bagaimana cara menulis cerpen yang baik dan benar.

Selain pandai memilih kata dan merangkai kalimat, terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan. Kali ini, Katadata.co.id akan membahas tentang bagaimana cara menulis cerpen yang bisa dijadikan acuan. Lengkap dengan contohnya, simak tulisan berikut ini.

Cara Menulis Cerpen

Cara Menulis Cerpen
Cara Menulis Cerpen (Unsplash)

1. Memilih Tema

Cara menulis cerpen yang paling pertama yaitu menentukan tema. Tahap ini akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan isi cerita. Anda bisa memilihnya berdasarkan referensi atau kesukaan masing-masing. Di samping itu, perhatikan pesan moral yang terkandung pada cerita.

2. Menentukan Tokoh atau Karakter

Tahap kedua dalam cara menulis cerpen adalah membuat atau menentukan tokoh yang terlibat di dalamnya. Termasuk nama, penokohan, watak, hingga karakterisasinya. Pada cerpen, masukkan karakter yang penting atau substansial saja. Hal ini mengingat bahwa cerpen adalah cerita yang sifatnya dibaca ‘sekali duduk’ atau langsung habis.

3. Membuat Kerangka Cerita

Cara menulis cerpen selanjutnya yaitu membuat kerangka tulisan. Diketahui bahwa kerangka yang menyusun cerpen akan berpengaruh terhadap plot atau alur cerita. Maka dari itu, penting untuk mengurutkan babak-baka setiap kejadian agar tetap runtut sesuai yang diinginkan penulis.

4. Menggambarkan Suasana

Suasana termasuk ke dalam salah satu jenis latar pada cerpen. Penting untuk penulis menggambarkan suasana untuk membangun imajinasi penulis. Caranya yaitu dengan membuat kalimat deskriptif terkait tokoh mau pun kejadian pada cerita.

5. Sudut Pandang

Diketahui bahwa sudut pandang akan berpengaruh terhadap bagaimana posisi pembaca ketika membaca cerpen. Hal ini juga menentukan penyebutan subjek orang pertama, bisa jadi Saya, Aku, atau dengan nama.

6. Revisi dan Penyuntingan

Apabila cerpen sudah ditulis secara keseluruhan, perlu dilakukan penyuntingan untuk memastikan tidak ada penulisan yang salah. Termasuk ejaan, penggunaan tanda baca, atau kesalahan minor lainnya. Anda bisa membacanya dari awal untuk memeriksa.

Jenis-jenis Cerpen

Cara Menulis Cerpen
Cara Menulis Cerpen (Unsplash)

Meski secara bahasa cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek, tulisan ini dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan panjang karakternya. Berikut penjelasannya:

1. Cerpen Pendek

Sebuah cerpen termasuk ke dalam jenis cerpen pendek apabila mengandung karakter senyaka 500-700 kata. Umumnya cerpen ini akan membahas cerita secara singkat dan langsung merambah konflik beserta klimaksnya. Permasalahan tidak dibahas secara detail. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa tak jarang penyelesaian relatif menggantung karena singkatnya cerita. Melansir Brain Academy, cerpen pendek juga biasa disebut sebagai ficlet.

2. Cerpen Sedang

Cerpen sedang memiliki 700-1.000 jumlah kata. Relatif lebih panjang dari sebelumnya, penulisan jenis cerpen ini dibahas lebih mendetail.

3. Cerpen Panjang

Jenis cerpen panjang terdiri dari 1.000-10.000 jumlah kata. Cerita yang disajikan relatif lebih kompleks dan detail. Termasuk pembahasan tentang latar belakang dan pasca penyelesaian konflik.

Contoh Cerpen

Badai yang Reda

Karya: Fauzia A.

Cara Menulis Cerpen
Cara Menulis Cerpen (Unsplash)

 

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau hanya sekedar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya juga.

Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

***

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

Demikian pembahasan tentang cara menulis cerpen, jenis-jenis, dan contohnya. Membuat cerpen bisa melatih keterampilan menulis serta mengeksplorasi imajinasi dan kreativitas.

Editor: Safrezi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...