Kredit Tumbuh saat Pandemi tapi Laba 2020 BNI Turun 78% Akibat Provisi
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mengantongi laba bersih Rp 3,28 triliun sepanjang 2020. Jumlahnya merosot hingga 78,7% dibandingkan perolehan laba tahun sebelumnya.
Sepanjang 2020, pendapatan bunga bank milik negara tersebut turun 4% menjadi Rp 56,17 triliun. Meski begitu, karena mampu menekan biaya bunga sebesar 13,3% menjadi Rp 19,02 triliun, pendapatan bunga bersih BNI masih mampu tumbuh 1,5% menjadi Rp 37,15 triliun.
Sayangnya, laba bersih BNI anjlok karena melakukan pencadangan provisi mencapai Rp 22,59 triliun sepanjang 2020. Nilai pencadangan melonjak 155,6% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 8,83 triliun.
Padahal, pendapatan sebelum dipotong provisi alias pre-provision income (PPOP) BNI pada 2020 senilai Rp 27,82 triliun atau turun 1,8%. Pencadangan tersebut, bertujuan untuk untuk menghadapi tantangan perekonomian di masa mendatang.
"Berkat PPOP, menambah ruang BNI untuk memupuk pencadangan yang memadai dalam menghadapi tantangan perekonomian di masa mendatang dan memberikan kekuatan untuk meminimalisasi volatilitas keuntungan BNI," kata Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini dalam paparan kinerja BNI, Jumat (29/1).
Dengan pencadangan tersebut, rasio kecukupan pencadangan (coverage ratio) naik menjadi 182,4% pada 2020. Sedangkan tahun sebelumnya, coverage ratio BNI sebesar 133,5%.
Naiknya pencadangan tersebut sejalan dengan kredit seret atau non-performing loan (NPL) BNI yang juga meningkat. Pada 2020, rasio NPL ada di level 4,3% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di level 3,6%.
Selain itu, kenaikan pencadangan BNI dilakukan sejalan dengan potensi debitur BNI yang direstrukturisasi tahun lalu menjadi NPL. Dari total kredit yang direstrukturisasi senilai Rp 102 triliun kepada 176 ribu nasabah, 1,4% berpotensi untuk masuk ke dalam NPL.
Sepanjang 2020, BNI mampu menyalurkan kredit senilai Rp 586,2 triliun atau tumbuh 5,3% secara tahunan. Mayoritas penyaluran kredit diberikan kepada segmen korporasi dengan total Rp 309,7 triliun atau tumbuh 7,4% secara tahunan.
Pertumbuhan segmen kredit juga terjadi pada bisnis kecil sebesar 12,3% menjadi 84,8 triliun. Sementara, bisnis menengah, kredit yang disalurkan BNI tahun lalu mencapai Rp 67,2 triliun, sayangnya turun 7,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara kredit konsumer, mayoritas diberikan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) yang senilai Rp 46 triliun atau tumbuh 4,3 triliun Sementara, untuk payroll loan, mampu tumbuh hingga 14,3% secara tahunan menjadi Rp 30,3 triliun.
Novita mengatakan, penyaluran kredit tersebut ditopang oleh akumulasi dari dana pihak ketiga yang mampu tumbuh hingga 10,6% menjadi Rp 679,5 triliun. Mayoritas DPK berasal dari dana murah (CASA) yang komposisinya mencapai 68,4% dari total DPK tahun lalu.
"Upaya perseroan dalam meningkatkan CASA berhasil menekan biaya dana DPK. Dampak positif dari penurunan biaya dana DPK tersebut, ini diteruskan kepada nasabah dalam bentuk penurunan suku bunga kredit," ujarnya.
Pertumbuhan DPK yang signifikan namun tidak diikuti oleh kredit yang tumbuh tinggi, membuat likuiditas BNI menjadi semakin longgar. Terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) menjadi 87,3%, dibandingkan 2019 yang di level 91,5%.