Mengurai Tantangan Pengembangan Telemedis di Indonesia
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai bahwa inovasi di bidang layanan kesehatan seperti telemedis sepatutnya terus dikembangkan. Di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, telemedis menjadi terobosan untuk mempercepat tranformasi digital di Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menuturkan, peralihan konsultasi kesehatan secara tatap muka ke konsultasi daring semakin tinggi terutama semasa pandemi. Berdasarkan informasi yang dihimpun Katadata, selama pandemi Covid-19 terjadi lonjakan kunjungan ke aplikasi telemedis sekitar 600 persen.
“Percepatan transformasi digital selayaknya membuat layanan telemedis semakin baik, bisa menjangkau daerah terpencil dan tertinggal. Dan Covid-19 ini menjadi katalis untuk mempercepat transformasi digital. Ini momentum yang harus dimanfaatkan,” katanya dalam diskusi publik bertajuk Telemedis untuk Peningkatan Kualitas Layanan Kesehatan, di Jakarta, Sabtu (22/8/2020).
Telemedis dimaknai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai layanan kesehatan yang memanfaatkan platform teknologi komunikasi dan informatika. Layanan kesehatan jarak jauh ini diutamakan untuk memfasilitasi interaksi dokter dan pasien tanpa melibatkan kontak fisik.
Telemedis sebetulnya adalah tahap awal di dalam proses digitalisasi layanan kesehatan. Di dalamnya mencakup pendaftaran secara daring serta telekonsultasi. Saat ini, Indonesia mulai memasuki fase telehealth yang meliputi telepharmacy, telelaboratory, teleradiology, virtual medical education, dan virtual assistant.
Peneliti kesehatan dari Deloitte Luthfi Mardiansyah mengutarakan bahwa perkembangan telemedis bukan tanpa hambatan. Kendala yang ada misalnya keterbatasan infrastruktur digital, kebijakan yang belum menyeluruh, praktisi kesehatan lambat mengadopsi teknologi terkini, serta kekhawatiran pasien/masyarakat terkait keamanan data diri maupun akurasi diagnosa.
“Keterbatasan infrastruktur digital disikapi pemerintah dengan menghadirkan proyek Palapa Ring. Sementara terkait regulasi, kita sekarang mulai bisa merujuk kepada peraturan yang ada, khususnya yang dirilis Kemenkes,” ujar Luthfi.
Keamanan Data Pengguna
Sementara itu, soal kekhawatiran pengguna terkait keamanan data pribadi menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan layanan telemedis. Kominfo berpendapat, mitigasi terhadap layanan telemedis memang sebaiknya diterapkan guna memberi rasa aman bagi pasien.
Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel A. Pangerapan menuturkan bahwa pada dasarnya, ketika masuk ke ruang digital yang sifatnya terbuka, sebaiknya kita memposisikan diri sebagai pihak yang rentan. Oleh karena itu, perlu adanya mitigasi dalam pengembangan layanan telemedis.
“Ada tiga mitigasi yang perlu dilakukan, yaitu soal klasifikasi data, sistem, dan sumber daya manusia yang terlibat dalam pemrosesan data pribadi untuk layanan telemedis,” kata Semuel.
Beberapa data pribadi yang diproses di dalam aplikasi telemedis ialah data registrasi, data konsultasi, serta data lain. Data registrasi misalnya, nama, jenis kelamin, tanggal lahir, status perkawinan, alamat, dan nomor telepon. Data konsultasi terutama menyangkut riwayat penyakit dan pengobatan, penyakit dalam keluarga, diagnosa, obat dan dosis, serta hasil lab. Sementara data lain, contohnya alamat IP pengguna, geolokasi, dan pembayaran (nomor kartu kredit/rekening).
Menurut Semuel, data-data tersebut perlu dipisahkan sebab jika terjadi kebocoran, setidaknya data yang dicuri tidak secara lengkap dan tidak ada nilai ekonomisnya. Khusus soal mitigasi ketiga, alias yang menyangkut manusia, harus ada prosedur jelas bahkan sanksi tegas atas setiap pelanggaran yang dilakukan SDM dalam pemrosesan data pribadi pengguna telemedis.
Kewaspadaan merupakan hal penting mengingat besarnya dampak positif yang bisa dihasilkan layanan telemedis. Pasalnya, layanan kesehatan jarak jauh ini mampu mengoptimalkan pemertaan akses kesehatan bahkan untuk daerah-daerah remote terutama pada masa pandemi virus seperti sekarang.