Menilik 15 Puisi Sapardi Djoko Damono, Tidak Lekang Oleh Waktu
Tepat pada hari ini (20/3), Google memperingati hari ulang tahun Sapardi Djoko Damono ke-83 dengan membuat animasi unik pada halaman pertamanya.
Terinspirasi dari puisi populernya, Hujan Bulan Juni, animasi nya pun menampilkan sosok beliau yang membawa payung di bawah hujan.
Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan besar Indonesia yang karya puisinya telah dikenal mendunia dan populer dalam sastra Indonesia. Setiap puisi beliau memilki makna yang begitu dalam dan menyentuh hati sehingga terus dikenang hingga saat ini.
Beberapa karya puisi beliau antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihit Hujan (1984). Hujan Bulan Juni (1989), dan masih banyak lagi. Melalui karya-karyanya, beliau mendapatkan berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Puisi Sapardi Djoko Damono
Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini 15 puisi Sapardi Djoko Damono yang masih dikenang hingga saat ini.
Hujan Bulan Juni (1989)
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Aku Ingin (1989)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Yang Fana Adalah Waktu (1978)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
Pada Suatu Hari Nanti (1991)
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kau lihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku
Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kau ulang lagi
menjenguk wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi itu.
Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan.
Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.
Baik, Tuan.
Akulah Si Telaga
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;