Mengapa Sistem Peringatan Dini Gagal Selamatkan Warga Sekitar Semeru?

Jonatan A Lassa
Oleh Jonatan A Lassa
11 Desember 2021, 11:00
Jonatan A Lassa
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Tim SAR gabungan bersama Marinir mencari korban yang tertimbun di jalur material guguran awan panas Gunung Semeru di Curah Koboan, Pronojiwo, Jawa Timur, Kamis (9/12/2021). Pencarian korban guguran awan panas Gunung Semeru difokuskan di sejumlah titik di antaranya Kajar Kuning, Sumber Wuluh, Curah Koboan dan Pronojiwo. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp.

Media nasional dan internasional, merujuk pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan letusan Gunung Semeru mengakibatkan sedikitnya 34 warga meninggal, 17 warga hilang serta sedikitnya 2.970 unit rumah terdampak, per 7 Desember 2021.

Ribuan warga di hotspot, terutama Kabupaten Lumajang, mengungsi. Sedikitnya 38 fasilitas pendidikan terkena dampak dan infrastruktur jalan dan jembatan rusak akibat peristiwa ‘letusan’ Semeru pada 4-5 Desember 2021.

BNPB, media mainstream nasional dan internasional, kompak memberitakan terjadinya letusan atau erupsi Semeru sejak 4 Desember 2021.

Dari asumsi awal soal letusan yang seolah-olah tiba-tiba, Kompas.com misalnya kemudian mengoreksinya dengan menurunkan berita “Ternyata Erupsi Gunung Semeru Tak Terjadi Tiba-tiba, Alam Telah Memberi Tanda.”

Pertanyaan besarnya: apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa sistem peringatan dini gagal menyelamatkan nyawa penduduk sekitar Semeru?

Makna status “Siaga”

Sebelum membahas terkait pertanyaan di mana dan mengapa sistem peringatan dini dalam kasus Semeru gagal menyelamatkan 51 warga yang hilang dan meninggal, sangat penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi terkait peristiwa tersebut.

Fakta pertama, Semeru masih dalam status Waspada namun tidak mengalami erupsi (letusan) sesuai pengertian letusan gunung api yang baku, dalam skala letusan berstatus Awas. Status Semeru berada dalam pemantauan rutin pemerintah, yakni Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Status Waspada ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas vulkanik yang ditandai dengan aktivitas seismik, vulkanik di atas level normal, termasuk aktivitas magma, lava, serta tremor tektonik. Walau demikian tergantung konteks gunung terkait.

Sedangkan Awas berarti “gunung berapi segera atau sedang meletus atau pada keadaan kritis yang dapat menimbulkan bencana. Tanda-tanda kritis ditandai dengan abu dan uap, berpeluang menjadi letusan dalam waktu kurang lebih 24 jam”.

Secara konsisten, PVMBG mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah Semeru masih berada dalam status Waspada dan status ini tidak berubah sejak 4 Desember.

PVMBG bahkan menyatakan Semeru tetap dalam status Waspada pada 7 Desember 2021. Kepala PVBMG Andiani kepada media mengatakan kondisi bahaya Semeru tetap berstatus Waspada dan masih berada di bawah tingkat bahaya tiga gunung api berstatus Siaga, yakni Merapi di Yogyakarta, Lewotolok di Nusa Tenggara Timur serta Sinabung di Sumatera Utara.

Pencarian Korban Erupsi Gunung Semeru
Pencarian korban erupsi Gunung Semeru. (ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp.)

Letusan primer versus letusan sekunder

Salah kaprah media dan berbagai lembaga pemerintah terjadi karena kesulitan membedakan ancaman primer dan ancaman sekunder. Ancaman primer termasuk di dalamnya letusan primer yang diantisipasi dalam status Awas, status tertinggi dalam peringatan dini gunung api.

Sedangkan yang terjadi di Semeru, adalah ancaman sekunder akibat letusan sekunder, yang bisa dipahami sebagai interaksi fisik antara curahan hujan yang mengenai akumulasi lava dan berbagai material pijar dan selanjutnya mengakibatkan awan (debu) panas guguran (APG).

Siaran pers PVBMG menyatakan bahwa karakteristik ancaman khas Gunung Semeru “yakni berupa awan panas yang berasal dari ujung aliran lava pada bagian lereng gunung. Endapan awan panas guguran terdiri dari material batuan bersuhu tinggi 800 sampai 9000 derajat Celcius yang bergerak ke arah lereng tenggara gunung Semeru sejauh sekitar 4 kilometer (km) dari puncak, atau sekitar 2 km dari ujung aliran lava.”

Mantan Kepala PVBMG Surono pun kemudian bersuara di berbagai media dengan mengklarifikasi bahwa terminologi yang lebih tepat adalah bukan letusan (primer) tapi sekunder. Disebut sekunder karena “gunung Semeru mengeluarkan lava terus menerus hingga membentuk kubah lava yang semakin lama semakin membesar dan tidak stabil” yang kemudian sangat berbahaya bila berinteraksi dengan curahan hujan.

Missing link dan celah tata kelola

Ada dua fenomena utama yang bakal terjadi dan tetap berbahaya dari letusan sekunder Semeru.

Halaman:
Jonatan A Lassa
Jonatan A Lassa
Dosen Senior, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...