Garuda Sebut Kinerja Akan Positif di Semester Kedua usai Lolos PKPU
Emiten maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) optimistis kinerja keuangan perusahaan akan mencatatkan hasil yang positif di semester kedua tahun ini.
Perbaikan kinerja tersebut sejalan dengan telah diperolehnya kesepakatan homologasi melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada akhir Juni 2022 lalu.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, proyeksi kinerja positif di tahun 2022 akan terus dioptimalkan perusahaaan secara bertahap hingga 2 sampai dengan 3 tahun mendatang agar dapat kembali ke level periode masa sebelum pandemi.
"Optimisme tersebut yang terus kami selaraskan dengan demand dan tren pergerakan penumpang yang semakin meningkat," kata Irfan, dalam keterangan resmi, Rabu (13/7).
Proyeksi pencatatan kinerja positif tersebut, terefleksikan melalui kinerja pendapatan usaha yang pada bulan Mei 2022 lalu berhasil membukukan profitabilitas melalui pendapatan rute angkutan penumpang, kargo, charter maupun pendapatan penunjang lainnya.
Rinciannya, pendapatan dari segmen kargo meningkat sebesar 20,38% dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2020. Kemudian, penerbangan charter Garuda naik 27,21% menjadi 2.221 penerbangan. Sementara itu, jumlah penumpang Garuda secara grup tahun lalu tetap di angka sekitar 10,9 juta penumpang.
Menurut Irfan, tahun 2022 akan menjadi tahun krusial proses pemulihan kinerja Garuda selaras dengan berbagai langkah strategis yang terus dioptimalkan perusahaan.
Tidak dapat dipungkiri, dengan tekanan kinerja yang dihadapi Garuda selama lebih dari 2 tahun terakhir berdampak pada kinerja keuangan yang mengalami penurunan kinerja yang signifikan.
Hal tersebut tercerminkan melalui kinerja operasional di tahun 2021 yang merupakan fase puncak pandemi dengan tingkat positive rate tertinggi sepanjang pandemi berlangsung di Indonesia.
"Kondisi tersebut berdampak secara langsung pada tingkat kepercayaan masyarakat untuk terbang sehingga terjadi penurunan trafik penumpang secara signifikan," katanya.
Sepanjang tahun lalu, perusahaan tercatat membukukan kerugian senilai US$ 4,15 miliar atau setara Rp 62,16 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.980 per US$. Kerugian itu membengkak 70,25% dari periode yang sama pada tahun 2020 yang tercatat sebesar US$ 2,44 miliar atau setara Rp 36,55 triliun.
Emiten bersandi GIAA itu memperoleh pendapatan senilai US$ 1,33 miliar setara Rp 19,92 triliun, turun 10,43% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 1,49 miliar. Pendapatan itu dikontribusi dari pendapatan penerbangan berjadwal US$ 1,04 miliar, turun dari sebelumnya US$ 1,20 miliar.
Penerbangan tidak terjadwal mencatatkan kenaikan menjadi sebesar US$ 88,05 juta dari sebelumnya US$ 77,24 juta. Sedangkan, pendapatan lainnya tercatat senilai US$ 207,47 juta, turun dari tahun sebelumnya US$ 214,41 juta.
Pendapatan usaha ini tidak diimbangi dengan beban usaha yang tercatat lebih besar, yakni US$ 2,60 miliar yang setara Rp 38,94 triliun pada akhir 2021 lalu, meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya US$ 3,30 miliar.