Pengusaha Tunggu PP sebelum Investasi di Perdagangan Karbon

Andi M. Arief
7 April 2022, 15:36
perdagangan karbon
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.
Foto udara kawasan hutan lindung yang gundul di Kaki Gunung Tangkuban Parahu, Sukawana, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (26/3/2022).

Pengusaha industri kehutanan menyatakan sedang menunggu turunan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Hal ini dinilai penting lantaran investasi yang ditelan dalam perdagangan karbon di dalam negeri mencapai ratusan triliun rupiah. 

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat pihak swasta akan menanggung 50% dari investasi tersebut. Namun, asosiasi menilai perdagangan karbon tetap menjanjikan selama aturan yang kini digodok sesuai dengan pelaku usaha. 

"Diharapkan kalau bisa carbon trading dunia. Jadi, ini sekarang sedang digarap. Semua sedang menunggu, karena harus investasi" kata Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo dalam Indonesia Data and Economic Conference 2022 yang diadakan Katadata, Kamis (7/4).

Sebagian aturan yang sedang digodok adalah tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC). Kedua beleid tersebut sedang diramu oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Indroyono mengatakan sebagian pelaku industri kehutanan telah menyiapkan beberapa rencana investasi, seperti penebangan pohon ramah lingkungan, pengkayaan penanaman pohon, maupun restorasi  tanah gambut. 

Dia menilai hutan di dalam negeri merupakan aset untuk kemaslahatan dunia. Sebab, industri kehutanan merupakan satu-satunya sektor yang menyerap karbon dibandingkan empat sektor lainnya. 

Keempat sektor yang dimaksud adalah industri manufaktur, energi, pertanian, dan pengolahan limbah. Menurutnya, keempat sektor industri ini tidak menyerap karbon, namun menurunkan produksi karbon. 

"Hutan adalah aset yang harus dilestarikan bersama, tapi juga harus ada manfaatnya untuk kelestarian bangsa," kata Indroyono. 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pembentukan harga karbon di Tanah Air juga lebih kompetitif dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya seperti Brasil, Peru, dan India. Saat ini, Indonesia telah memiliki proyek percontohan, salah satunya Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). 

Halaman:
Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...