Mendukung Pengetahuan, Memampukan Inovasi dan Memajukan Bangsa
Tiga bulan berjalan, pandemi Covid-19 jelas benar telah menguji keuletan, kesiapan serta kelincahan sebuah komunitas dan bangsa. Ujian ini harus dijawab dengan sinergitas oleh semua lini kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Apabila ditambah dengan tingginya tingkat ketidaktahuan kita tentang virus, wabah, dan vaksinnya serta ketidakpastian kapan wabah ini akan berakhir, kemampuan riset dan inovasi menjadi salah satu tumpuannya.
Ekosistem pengetahuan dan inovasi Indonesia, seperti juga negara-negara lain di dunia, seperti sedang berada di dalam cawan petri.
Semua terkondisikan oleh pandemi dan kebutuhan untuk merespon cepat dan tepat. Dalam hitungan pekan, berbagai institusi yang digerakkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/ BRIN) melalui Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 telah menghasilkan berbagai purwarupa alat pelindung diri bagi tenaga medis, alat deteksi dan berbagai luaran lainnya yang dapat langsung menjawab kebutuhan menghadapi pandemi. Bedanya dengan suasana sebelumnya adalah bahwa produk-produk purwarupa tersebut mendapat perlakuan khusus untuk diproduksi dan diperbanyak oleh industri, baik BUMN maupun swasta.
Dan dalam eksperimen di cawan tersebut, kita dapat mengobservasi dan memetik pelajaran dalam tiga aspek penting. Aspek pertama adalah pentingnya memupuk lumbung basis pengetahuan (stock of knowledge). Aspek kedua dan ketiga yang harus berjalan beriringan adalah orkestrasi ekosistem inovasi serta konsistensi birokrasi.
Lumbung Pengetahuan
Ukuran mudah untuk mengukur akumulasi pengetahuan adalah angka-angka statistik. Walaupun masih jauh dari ideal dan masih terpusat di beberapa lembaga, jumlah peneliti yang benar-benar melakukan penelitian di Indonesia meningkat dari 40 orang per satu juta penduduk di tahun 2015 menjadi 89 orang per satu juta penduduk di tahun 2019 atau apabila angka tersebut dimasukkan para dosen akan menjadi 1.071 peneliti per satu juta penduduk. Produktivitasnya pun meningkat dua kali lipat yang tercermin dari melonjaknya jumlah publikasi scopus (level menengah), dari 8.475 publikasi pada tahun 2015 menjadi 45.936 pada tahun 2019.
Pun capaian ini baru merupakan langkah awal dari perbaikan-perbaikan yang harus diupayakan terkait kualifikasi, infrastruktur serta peningkatan efektivitas lembaga penghasil pengetahuan menjadi penghasil invensi dan inovasi.
Ukuran kuantitatif ini lalu seolah diuji kualitas dan relevansinya dalam merespon wabah. Jika kita mengesampingkan dahulu seluruh permasalahan terkait SDM Iptek, dengan kekuatan yang ada punyakah kita pengetahuan yang cukup mengenai epidemiologi, fitofarmaka, rekayasa alat kesehatan yang dapat diproduksi dengan cepat dan relatif murah, atau strategi perubahan perilaku masyarakat?
Menilik luaran yang dihasilkan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 dalam waktu singkat, saya cukup optimis bahwa secara kualitas pun lumbung pengetahuan kita cukup layak.
Namun secara jujur dapat dikatakan bahwa pekerjaan rumah yang masih cukup besar masih menanti untuk terus berupaya memahami dinamika sosial masyarakat kita, sehingga inovasi bukan hanya menghasilkan produk, tetapi juga intervensi, strategi perubahan perilaku serta kebijakan publik yang komprehensif.
Orkestrasi Ekosistem Inovasi
Akumulasi pengetahuan tidak serta merta otomatis menjadi bermanfaat - menjadi invensi dan inovasi. Prosesnya pun tidak linier. Ada sejumlah aktor kunci dalam ekosistem inovasi dengan kompleksitas dinamika keterhubungan satu sama lain yang mau tidak mau harus diorkestrasi.
Laporan Global Innovation Index 2019 mencatat lemahnya hubungan ekosistem riset dan industri serta rendahnya daya serap perusahaan lokal terhadap hasil inovasi sebagai masalah yang umum ditemui di negara berkembang seperti Indonesia.
Peran orkestrasi ini idealnya dilakukan oleh negara. Mengutip Mariana Mazzucato dalam bukunya The Entrepreneurial State (2014), ‘jika dilakukan secara efektif, peran negara adalah secara tegas – tapi tidak otoriter – mengarahkan visi dan memberikan dorongan untuk mewujudkannya.’ Dalam konteks ini, negara bukan hanya sebagai fasilitator, namun secara aktif menjadi mitra kunci sektor swasta dan memiliki kemampuan mengarahkan berbagai kepentingan.
Dalam keadaan normal, mesin birokrasi punya cukup pemahaman mengenai peran di atas. Namun penerapannya butuh lebih dari sekedar pemahaman. Perwujudan keterhubungan n-helix, dari yang paling sederhana – pemerintah, akademisi dan swasta – saja, membutuhkan kelincahan memahami motivasi dasar setiap pemangku kepentingan dan (secara positif) mengatur dinamikanya. Harus diakui, sampai saat ini, di luar konteks pandemi, orkestrasi keterhubungan yang diharapkan belum sepenuhnya terjadi.
Namun dalam konteks pandemi, ternyata kemampuan orkestrasi itu mulai muncul. Indonesia yang tadinya bergantung 90% terhadap impor alat kesehatan dan medis harus mulai berpikir untuk mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Kementerian Kesehatan lalu mengidentifikasi dan menghitung apa yang dibutuhkan, peneliti dan perekayasa bekerja cepat meresponnya dengan berbagai purwarupa dan badan usaha milik negara serta beberapa perusahaan swasta dikondisikan untuk melakukan produksi massal. Hasil produksinya kemudian langsung diserap oleh negara dan disalurkan ke fasilitas-fasilitas kesehatan.
Mungkin pameo ‘necessity is the mother of invention’ ada benarnya. Kebutuhan – atau dalam hal ini keterpaksaan – memunculkan invensi dalam mengorkestrasi ekosistem inovasi. Peran orkestrasi ini nantinya sebagian besar akan dijalankan oleh Kemenristek/BRIN, tentunya tanpa bisa lepas dari kolaborasi dengan kementerian lainnya. Apalagi nantinya Kemenristek/BRIN akan menjadi ‘pemain orkestra tunggal’ apabila gagasan untuk membesarkan BRIN dengan mengintegrasikan lembaga Litbangjirap (Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan) pada Kementerian/Lembaga bener-bener terwujud.
Keterpaksaan atau kondisi memaksa tersebut semoga membentuk kesadaran bahwa untuk memajukan bangsa, mau tidak mau memang negara perlu punya visi industrialisasi yang tajam dan tidak hanya sekedar bisa jadi penyedia buruh murah atau menjadi pedagang.
Visi kesejahteraan masyarakat – bukan hanya sekedar ekonomi – berbasis pengetahuan harus dibangun berdasarkan kebutuhan dan kekuatan sosial masyarakat, serta didukung dengan seperangkat kebijakan. Pengembangan industri strategis, misalnya, sering kali harus proteksionis (Ha-Joon Chang, 2003) di tahap-tahap awal, tanpa mengabaikan eksternalitasnya. Prinsip ini yang harus berani dilakukan oleh negara secara apik, khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Peran orkestrasi ini juga dibutuhkan dalam jangka panjang, untuk menjawab tantangan-tantangan pembangunan yang kian kompleks dan membutuhkan kolaborasi multi-disiplin dan lintas sektoral. Pandemi sekarang ini jelas menggarisbawahi pentingnya merangkum kepakaran berbagai bidang ilmu – dari kesehatan dan obat sampai sosial humaniora – untuk menemukan solusi terbaik.
Konsistensi Visi dan Kebijakan
Satu hal paling fundamental di antara ketiga aspek yang saya kemukakan di awal adalah konsistensi. Dalam konteks pemajuan ekosistem pengetahuan dan inovasi, konsistensi yang terpenting adalah dalam mengawal perwujudan visi.
Banyak jalan menuju Roma, banyak cara menjadi sejahtera. Dan rasanya kita semua sepakat kesejahteraan untuk semua lah yang kita tuju.
Namun satu hal perlu dicatat, dari banyaknya cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan ekosistem pengetahuan dan inovasi yang mumpuni, garis besar kebijakan yang dipilih harus konsisten, atau paling tidak senada. Membangun ekosistem tersebut perlu beberapa dekade, dan langkah pemajuannya inkremental. Sehingga baiknya satu kebijakan baru dibangun di atas kebijakan yang telah ada, bukan berbelok 180 derajat. Kepiawaian pejabat baru dan kesadaran melanjutkan yang baik yang telah dirintis pendahulunya, bukan asal beda kebijakan akan menjadi kata kunci dalam mengawal langkah penting ini.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 mengenai Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi telah memandatkan satu hal mendasar mengenai peran Iptek dalam pembangunan nasional. Kebijakan ini memperkuat beberapa perbaikan yang telah dilakukan lima tahun terakhir. Walau tentu harus disadari bahwa Undang-Undang tersebut bukan merupakan satu kitab sempurna, pasti banyak kekurangannya. Tetapi itulah yang terbaik yang ada saat ini terkait ilmu pengetahuan, riset, dan inovasi.
Langkah yang sudah dirintis dan mulai dilaksanakan oleh Pemerintah dengan Mendorong integrasi riset-inovasi melalui Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 dan Prioritas Riset Nasional 2020-2024, serta Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (Pasal 62) yang telah menarasikan dimungkinkannya Penelitian menggunakan APBN dengan sistem multi-tahun, multi-sumber, penugasan, dan berbasis output (lebih sederhana pertanggungjawaban keuangannya, tetapi masih tetap akuntabel) akan menjadi awalan yang sangat baik untuk melakukan percepatan implementasi menuju kesejahteraan untuk bangsa berbasis Inovasi Indonesia.
Upaya-upaya yang telah ditempuh selama kerja Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 – betapa pun belum sempurna – merupakan perwujudan awal dari pelaksanaan mandat tersebut. Jika satu dekade ke depan saja pemanfaatan lumbung pengetahuan dan orkestrasi aktor di dalam ekosistem dijalankan secara konsisten, rasanya kita bisa memetik hasilnya. “Prinsip dan kepercayaan’ itu yang harus diyakini dan dikawal bersama oleh seluruh lini masyarakat.
Sekali lagi, apabila ketiga hal tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, niscaya Indonesia yang maju dan sejahtera, yang dibangun berdasarkan pengetahuan dan inovasi, akan secara bertahap tapi lebih pasti bakal digapai.
Artikel ini merupakan opini pribadi Muhammad Dimyati, Pelaksana Tugas Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional.