Permintaan Batu Bara ke Cina Diprediksi akan Terus Naik hingga 2025
Beberapa negara di dunia yang mengalami krisis energi seperti Inggris, Cina, hingga India, beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Akibatnya permintaan batu bara global meningkat dan mengerek harga.
Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, menilai kondisi ini membuat permintaan batu bara dalam negeri meningkat. Apalagi Cina dan India selama ini mengimpor batu bara asal Indonesia. Dampaknya, harga batubara acuan (HBA) pada September 2021 menembus US$ 150 per ton, atau melonjak 152% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Dia memperkirakan permintaan batu bara akan meningkat hingga beberapa tahun ke depan. "Apalagi sampai 2025, dipastikan kebutuhan impor Cina tetap akan meningkat," kata Singgih kepada Katadata.co.id, Senin (4/10).
Singgih menilai kenaikan batu bara saat ini bukan semata disebabkan mekanisme supply and demand. "Siapapun sulit menebak sampai setinggi berapa. Demikian turunnya batu bara, siapapun tidak mudah menebaknya," ujarnya.
Dia menyarankan pemerintah memetakan bagaimana arah kebijakan Cina dalam impor batu bara. Menurut dia kenaikan harga batu bara saat ini tak lantas direspons dengan memperbesar produksi secara nasional. "Perhitungan ke depan harus dipertimbangkan dengan matang, agar industri tambang tetap dapat bertahan," kata dia.
Tahun ini, pemerintah menetapkan target produksi 625 juta ton tahun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Jumlah produksi ini meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 558 juta ton, berikut grafik Databoks:
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah saat ini di antaraanya menjaga kebutuhan domestik, ketahanan energi kelistrikan nasional, dan menjaga wilayah penghasil batu bara tanpa merusak lingkungan.
Dia menyarankan Kementerian ESDM perlu memperhatikan isu disparitas harga yang tinggi antara ekspor dan domestik. Pemerintah perlu menjaga komitmen pemasok untuk tetap memperhatikan kebijakan domestic market obligation (DMO).
Kemudian pemerintah perlu membuat blue print pembangunan Coal Processing Plant (CPP) baik oleh pemerintah atau swasta. Dengan CPP, maka kebutuhan batu bara DMO dapat semakin lebar dari kualitas rendah dan tinggi. "Ini bukan saja untuk kepentingan pasar atau user saja, namun akan dapat mampu membangun agar daerah penghasil batu bara kualitas rendah tetap dapat sustain," katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai prospek batu bara domestik diprediksi akan bagus kedepannya. Bersamaan dengan aspek perolehan devisa dan neraca dagang. "Untuk dalam negeri tidak perlu khawatir saya kira. Produksi kita 600 juta ton sementara konsumsi domestik baru sekitar 200 juta ton," katanya.