Perjanjian Latihan Militer dengan Singapura Dikritik, Apa Kerugian RI?

Image title
3 Februari 2022, 18:22
Singapura, latihan militer
ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Drake
Ilustrasi latihan militer.

Pemerintah Indonesia dan Singapura beberapa perjanjian  di antaranya ektradisi, pertahanan atau defence cooperation agreement (DCA), dan flight information region (FIR) atau wilayah informasi penerbangan pada 25 Januari lalu. Perjanjian ini membutuhkan ratifikasi dari DPR.

Dalam perjanjian pertahanan, Singapura meminta wilayah udara Indonesia menjadi tempat latihan militer.  Rencana Singapura latihan militer di kawasan Indonesia ini menuai krtik karena berpotensi merugikan negara.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi,  mengatakan latihan akan memberikan ruang bagi berkembangnya militer Singapura.  “Memberikan area bagi angkatan bersenjata Singapura berlatih perang, sama saja mendorong militer Negeri Singa semakin maju,” ujar Fahmi kepada Katadata.co.id pada Kamis (3/2).

Berdasarkan data Global Fire Power (GFP), Singapura memiliki anggaran pertahanan yang lebih besar dibanding Indonesia pada 2021. Pada 2021 Singapura mengumumkan mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar US$ 11,56 miliar atau setara Rp 166,2 triliun.

Sedangkan Kementerian Keuangan hanya memberi anggaran bagi Kementerian Pertahanan sebesar Rp 118,21 triliun pada tahun 2021. “Itu pun harus dibagi ke tiga matra yang berbeda dan Mabes TNI (Tentara Nasional Indonesia),” ujar Khairul.

Singapura sebagai negara kecil juga memiliki armada lebih baik. Singapura memiliki enam kapal selam siap tempur, sedangkan RI hanya empat kapal selam setelah KRI Nanggala-402 tenggelam di perairan Bali pada April 2021.

Dia menilai, Singapura lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Singapura tidak memiliki area untuk melatih personel militer.

Khairul menilai keuntungan yang diperoleh Indonesia dalam kesepakatan tersebut belum konkrit. “Ada risiko yang dihadapi oleh Indonesia yakni sewaktu-waktu bisa saja berperang dengan negara lain,” ujar Khairul.

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksmana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto menilai latihan militer itu memiliki risiko keamanan. Ponto memberi contoh bila Singapura menggunakan peluru kendali, berpotensi tidak tepat sasaran kemungkinan dapat menyangkut pada suatu pulau.

Selain itu, wilayah latihan militer Singapura di dekat wilayah Natuna disebut akan mengganggu eksplorasi sumber daya termasuk penangkapan ikan. “Bila kapal-kapal yang sedang latihan tabrak kapal Indonesia tabrak kapal ikan bagaimana penegakan hukumnya?” ujar Ponto kepada Katadata pada Kamis (3/2).

Pengamat militer dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan Singapura tidak bisa secara sembarangan melakukan latihan militer Indonesia. Pemerintah disebut harus mempersiapkan lokasi khusus bagi militer Singapura agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat.  

Selain itu, Singapura harus didampingi oleh pihak militer saat latihan militer. Konsep latihan militer dinilai akan lebih baik jika menggunakan latihan bersama atau Joint Exercise dengan militer Indonesia. “Ini penting agar tidak ada aktivitas yang merugikan Indonesia,” ujar Stanislaus.

Perjanjian dengan Singapura Perlu Ratifikasi DPR


Indonesia pernah membuat perjanjian ekstradisi dengan Singapura di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, perjanjian yang disepakati pada 27 April 2007 itu gagal diratifikasi di DPR.

Ketika itu DPR enggan meratifikasi perjanjian karena keberatan dengan perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA). Perjanjian ekstradisi ini satu paket dengan DCA, yang salah satu poinnya mengenai latihan militer.

Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI-Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan DPR khawatiran dalam syarat perjanjian latihan militer yang satu paket dengan ekstradisi.  Syarat tersebut sebagai kompensasi dalam perjanjian ekstradisi dan pengelolaan ruang navigasi udara di atas Pulau Natuna.

"Kok hanya urusan ekstradisi, buron-buron itu kok kita gadaikan dalam tanda petik kedaulatan kita," ujar Effendi kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Kamis (27/1).

Lebih lanjut, Effendi mengatakan dalam mekanismenya DPR hanya perlu mengatakan 'iya' dengan catatan atau 'tidak' dengan catatan. Jika tidak diproses oleh DPR, maka perjanjian tersebut tidak akan teratifikasi.

Proses pembahasan setelah DPR menerima Surat Presiden (Surpres). Kemudian akan dilanjutkan pada rapat Badan Musyawarah (Bamus) sebelum proses dilanjutkan ke Komisi terkait.

Rapat mengenai DCA pertama kali dibahas pada 27 Januari lalu antara Komisi I dan pemerintah yakni, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. Rapat tersebut dilaksanakan secara tertutup.

Usai rapat, Prabowo mengatakan perjanjian DCA tidak akan membahayakan kedaulatan Indonesia. Ia mengatakan sudah banyak negara yang melakukan latihan militer di wilayah NKRI.

Reporter: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...