Pengusaha Keberatan dengan Rencana Pajak Karbon di Indonesia
Pengusaha meminta pemerintah menimbang dengan hati-hati rencana untuk menarik pajak karbon di Indonesia. Alasannya, penarikan pajak yang menambah beban pengusaha akan berpengaruh pada daya saing pelaku usaha di dalam negeri.
Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD)
membuat jajak pendapat dan analisis mengenai rencana implementasi pajak karbon ini. President IBCSD Shinta W. Kamdani menyebutkan kebanyakan pelaku usaha keberatan dengan penerapan pajak karbon.
"Dari analisis yang kami buat, bila ini dijalankan apa pengaruhnya bagi daya saing dan kemampuan kompetisi sektor tersebut," ujar Shinta dalam diskusi Katadata SAFE 2021 dengan tema Collaboration for The Future Economy, Senin (23/8).
Perusahaan global saat ini mulai berkomitmen untuk menuju ke arah pembangunan berkelanjutan. Mayoritas perusahaan setuju untuk berubah dengan memperhatikan dasar lingkungan yang kuat.
Namun, kata Shinta, implementasi atas komitmen tersebut masih sangat rendah. Sebanyak 27% perusahaan yang telah mengimplementasikan rencana pembangunan berkelanjutan. "Walaupun berkomitmen, tapi implementasinya rendah dan ini juga terjadi di Indonesia. Memang implementasi ini yang menjadi tantangan," kata dia.
CEO Landscape Indonesia Agus P. Sari menyampaikan perlunya upaya menjaga agar Indonesia tidak menyimpang dari jalur Low Carbon Development. Dalam mengimplementasikan pembangunan rendah karbon, pemerintah perlu mendapat kepercayaan dari semua stakeholder.
Dia menyarankan pemerintah untuk meyakinkan bahwa upaya menuju pembangunan rendah karbon ini bukanlah ancaman. "Saya tahu bisnis itu enggak suka dengan kata pajak. Kita pakai kata lain seperti pungutan atau cukai," kata Agus.
Agus menilai perlunya langkah ini agar terlihat nilai atau harga dari sebuah sektor usaha yang mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca. Jika para pelaku usaha tak mau membayar pajak atas emisi, maka rakyat yang akan menanggung kerusakan yang akan memberikan dampak lingkungan dan ekonomi. Di antaranya kerusakan alam seperti banjir di wilayah Kalimantan Selatan dan kebakaran hutan di Sumatera.
"Banjir di Kalsel itu merugikan banyak orang, kebakaran hutan di Sumatera kerugian ekonominya besar, dan sebagian besar yang nanggung ekonominya itu kan masyarakat," ujarnya.
Pemerintah hingga kini masih menyusun aturan mengenai mekanisme nilai ekonomi karbon (NEK) di Indonesia. Salah satu yang diatur yakni seperti mekanisme pungutan atau pajak karbon.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sebelumnya mengusulkan pemerintah perlu melakukan konsultasi publik terlebih dulu.
Dia berharap pilihan mekanisme nilai ekonomi karbon dapat mengubah perilaku dan mempercepat pencapaian ekonomi rendah karbon. Terutama dari sektor-sektor yang menjadi sumber penghasil emisi.
Efektivitas untuk instrumen pajak karbon ditentukan harga karbon. Berdasarkan rekomendasi High Level Commission on Carbon Price yang diketuai oleh Prof. Joseph Stiglitz dan Prof. Nicholas Stern, kisaran harga karbon U$ 40-80 per ton pada 2020 dan US$ 50-100 per ton pada 2030.