Terapkan Pajak Karbon, Pemerintah Perlu Konsultasi Publik
Pemerintah masih menyusun aturan mengenai mekanisme nilai ekonomi karbon (NEK) di Indonesia. Salah satu yang diatur yakni seperti mekanisme pungutan atau pajak karbon. Namun, untuk menjalankan kebijakan ini, pemerintah dinilai perlu melakukan konsultasi publik.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berharap pilihan mekanisme nilai ekonomi karbon dapat mengubah perilaku dan mempercepat pencapaian ekonomi rendah karbon. Terutama dari sektor-sektor yang menjadi sumber penghasil emisi.
Menurutnya, efektivitas untuk instrumen pajak karbon ditentukan harga karbon. Berdasarkan rekomendasi High Level Commission on Carbon Price yang diketuai oleh Prof. Joseph Stiglitz dan Prof. Nicholas Stern, kisaran harga karbon U$ 40-80 per ton pada 2020 dan US$ 50-100 per ton pada 2030
"Saya kira ini yang perlu di-exercise oleh pemerintah," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (15/6).
Oleh sebab itu, Fabby menyarankan agar pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, melakukan konsultasi publik terlebih dahulu mengenai mekanisme pajak karbon. Mengingat banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi tersebut.
Apalagi dari sumber informasi yang ia dapat, pajak karbon ke depan akan diintegrasikan dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Ia pun mempertanyakan dasar integrasi ini dengan target penurunan emisi dan dekarbonisasi yang selama ini diupayakan pemerintah.
"Saya baca kalau pajak karbon mau diintegrasikan ke PPN dan lain-lain. Apakah cara ini tepat? Lalu objek pajaknya apa?," kata Fabby.
Fabby berharap penerapan pajak ini memang bertujuan mempercepat transformasi ekonomi rendah karbon. Jangan sampai penerapan pajak karbon semata-mata hanya untuk meraup pendapatan untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan peraturan presiden atau Perpres sebagai dasar landasan hukum nilai ekonomi karbon masih disusun. Adapun tiga mekanisme yang saat ini tengah disusun, yakni perdagangan karbon, result based payment dan pungutan karbon.
Siti menjelaskan mekanisme perdagangan karbon merupakan proses transaksi karbon antara pelaku usaha atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas emisi yang ditentukan.
"Jadi kalau ada proyek batas emisinya ditentukan dulu kalau lebih nanti bisa diperdagangkan itu namanya trade, dan offset," kata dia dalam Raker bersama Komisi VII, Senin (14/6).
Lalu, mekanisme result based payment yakni insentif berupa pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses verifikasi dan tersertifikasi. Adapun mekanisme ini baru diterapkan untuk sektor kehutanan.
Kemudian untuk pungutan karbon saat ini pemerintah sendiri masih mengkaji mekanisme yang tepat. Pengenaan pungutan karbon tengah dipertimbangkan untuk diberlakukan terhadap komoditas yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
"Ini meja kayu ini carbon stock apakah akan dihitung seperti itu. Apakah nanti dihitung dari emisi yang dihasilkannya. Saya sependapat memang hal-hal ini harus berdasarkan hasil interaksi dari segala stakeholders," ujarnya.