Brexit Picu Ketidakpastian tapi Tak Perlu Histeria
Referendum yang digelar pemerintah Inggris pada Kamis (23/6) lalu –yang hasil penghitungannya diumumkan 24 jam kemudian pada pukul 13.00 WIB, Jumat siang (24/6) waktu Indonesia---menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan negara itu keluar dari Uni Eropa. Jumlah masyarakat yang menginginkan “Britain Exit” (Brexit) mencapai 17,41 juta orang atau 52 persen dari total masyarakat yang mengikuti referendum. Sedangkan yang menginginkan Inggris tetap bertahan bersama Uni Eropa sebanyak 16,14 juta orang atau 48 persen.
Hasil ini di luar dugaan pelaku pasar sehingga memunculkan unsur kejutan. Unsur inilah yang bakal memantik volatilitas yang tinggi dalam jangka pendek di pasar finansial, nilai tukar, maupun komoditas. Ketidakpastian ini turut meningkatkan risk premium di negara-negara pasar berkembang (emerging market).
Pada 20 tahun yang lalu, Inggris Raya memutuskan tidak memakai mata uang tunggal euro dan memilih mempertahankan poundsterling sebagai nilai tukar. Jika melihatnya secara restropektif, keputusan tersebut di kemudian hari dianggap sebagai sebuah langkah yang cerdik.
Kini, 20 tahun kemudian, Inggris Raya memutuskan akan keluar dari Uni Eropa. Pada saat ini, keputusan tersebut memicu banyak histeria. Namun, cuma waktu yang akan menilai seberapa lama histeria tersebut.
Ketika masuk ke dalam suatu kondisi ketidakpastian, seringkali diterjemahkan sebagai sebuah bencana. Padahal, secara definisi ketidakpastian tersebut belum tentu pasti menjadi buruk.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.