Tidak ada orang korupsi yang melaporkan pajaknya. Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan hal tersebut di depan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (20/5).
Ia menolak tuduhan menerima gratifikasi dari Blackstone, melalui Tamarind Energy Management. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwanya menerima uang senilai Rp 1,09 miliar dan US$ 104 ribu sejak April hingga Desember 2015.
Karen menyebut uang yang ia terima merupakan gajinya sebagai konsultan. “Dan membayar pajak,” ujar perempuan berusia 65 tahun tersebut.
Karena itu, ia menolak tudingan telah memperkaya diri. Karen lalu menyindir Ketua KPK Firli Bahuri yang menahannya pada September lalu. “Pak Firli saja punya Rp 7 miliar. Itu kan enggak bayar pajak kan,” ucapnya.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat hadir sebagai saksi yang meringankan. Ia mengaku bingung mengapa Karen menjadi tersangka. “Karena dia menjalankan tugasnya. Instruksi dari Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) ke Pertamina,” kata JK pada 16 Mei 2024.
Tugas Karen tersebut tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Instruksi itu seiring dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Pertamina ketika itu harus berkontribusi dalam mewujudkan bauran energi primer. Salah satu caranya dengan menaikkan pemakaian gas bumi menjadi 30% terhadap konsumsi energi nasional.
Untuk menambah porsi gas bumi, Pertamina melakukan pengadaan gas alam cair atau LNG dari luar negeri. Di sinilah masalah muncul.
Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut ada kerugian negara atas pengadaan LNG dari Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL). Karen lalu didakwa merugikan negara sebesar US$ 113,84 juta atau setara Rp 1,77 triliun atas dugaan pengadaan LNG periode 2011 sampai 2014.
Jusuf Kalla mengatakan, wajar apabila perusahaan pelat merah, seperti Pertamina, mengalami rugi dalam menjalankan bisnisnya. Jika semua perusahaan rugi harus dihukum, maka seluruh badan usaha milik negara (BUMN) karya akan merasakannya.
Ia merujuk pada kondisi BUMN sektor konstruksi yang banyak mengerjakan proyek infrastruktur pemerintah. Beberapa perusahaan akhirnya merugi karena terlilit utang dan tata kelola perusahaan yang buruk.
Pertamina, dalam kasus impor LNG, pun hanya mengerjakan kebijakan pemerintah yang sifatnya jangka panjang. “Kerugian hanya dua tahun kan? Kenapa harus didakwakan?,” ujar JK.
Isu mengenai doktrin business judgment rule kemudian menjadi perbincangan. Apakah keputusan yang diambil seorang direksi perusahaan dengan itikad, tujuan, dan cara yang baik dapat dipidanakan?
Terbentur Berbagai Aturan
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, kerugian BUMN tak seharusnya disebut sebagai korupsi. Hal ini juga berlaku untuk kasus Karen.
Kerugian yang muncul dalam kasus pengadaan LNG merupakan dampak instruksi pemerintah dan kondisi global yang tidak bisa diperkirakan. Direksi, menurut Hikmahanto, bukan peramal
“Kalau sudah dilakukan berbagai simulasi, bahkan profesional dilibatkan, (kemudian) dia ambil keputusan, tapi tiba-tiba perang, harga rupiah melonjak, atau terjadi Covid-19, dia tidak bisa meramal,” ucapnya dalam diskusi Katadata Forum bertajuk Bahaya Kriminalisasi Putusan Bisnis pada 22 Mei lalu.
Riset Indonesia Corruption Watch pada Mei 2023 menuliskan soal salah satu sebab kebijakan direksi pelat merah berbuah pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebut pengelolaan penyertaan modal negara tidak lagi berdasarkan sistem anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tapi prinsip perusahaan yang sehat.
Kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal BUMN tersebut berubah statusnya menjadi keuangan privat, layaknya perseroan terbatas (PT). Pengelolaanya harus dilakukan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Para direksi wajib menerapkan business judgment rule (BJR) alias aturan penilaian bisnis.
Prinsip BJR di Indonesia, tulis ICW, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada Pasal 97 ayat 5 tertulis anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan:
- Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
- Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
- Tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung.
Di negara-negara maju, seperti AS dan Inggris, doktrin BJR menjadi jaminan hukum bagi jajaran direksi dalam mengambil keputusan dan risiko secara benar. Prinsip tersebut juga menjaga agar pengadilan tidak menguji keputusan bisnis karena tidak memiliki kompetensi untuk melakukannya.
Problem selanjutnya lalu muncul pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di sini disebutkan keuangan BUMN termasuk dalam keuangan negara. Status tersebut membuat pengelolaan dan tanggung jawab keuangan BUMN dapat diperiksa oleh BPK. Dampaknya, kerugian perusahaan pelat merah menjadi kerugian negara.
Hikmahanto mengatakan bila kerugian negara didefinisikan sebagai korupsi maka para direksi akan sulit mengambil kebijakan yang berisiko. Ekonom senior Faisal Basri pun berpendapat serupa.
“Sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko. Takut (mengalami) seperti yang dialami Bu Karen. Ini fakta. Lihat saja sekarang lifting minyak tinggal 606 ribu barel per hari,” ucap Faisal dalam diskusi Katadata Forum.
Apabila keputusan direksi BUMN dapat dipidana maka hal yang sama berlaku untuk presiden. Ia mencontohkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang berujung pidana pada beberapa pengambil kebijakan.
Padahal kasus itu terjadi tak lepas dari instruksi Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor CPO. “Jadi, sumber masalahnya Jokowi. Kenapa dia enggak (jadi) tersangka?” katanya.
Faisal juga menyinggung kasus Karen sebelumnya. Pada 2018, Karen sempat didakwa untuk kasus pembelian blok migas Basker Manta Gummy (BMG) di Australia. Mahkamah Agung akhirnya melepaskan Karen dari hukuman pada Maret 2020.
Hakim MA mengakui keputusan Karen merupakan business judgment rule, bukan tindak pidana. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro ketika itu mengatakan keputusan direksi perusahaan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Meskipun keputusan direksi berujung kerugian, kondisi itu merupakan risiko bisnis.
Agar business judgment rule dapat diterapkan, praktisi hukum Maqdir Ismail menyarankan penghapusan beberapa pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal yang berkaitan dengan korupsi seharusnya menyorot persoalan suap. “Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 603 dan 604 KUHP mestinya dibatalkan saja sebab di sini tidak ada syarat suap-menyuap,” ucap Maqdir.
Penyelesaian masalah penyalahgunaan pun seharusnya tidak melalui jalur pidana. “Ini berat sekarang. Semua hal ingin kita pidana. Padahal harusnya pidana itu bagian terakhir masalah,” katanya.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono mengatakan bila BUMN ingin keuangannya tidak masuk dalam keuangan negara, maka perlu mengubah undang-undang yang ada.
Ia mengatakan direksi tidak selalu bertanggung jawab secara pidana atas keputusan bisnis. “Kerugian perusahaan tidak menjadi tanggung jawab bagi direksi, sepanjang dilaksanakan berdasar keputusan atas kewenangan. Kalau tidak sesuai, seenaknya aja, dong,” ujar Feri.
Persidangan Kasus Karen
Dalam dakwaannya, jaksa KPK menyebut pengadaan impor LNG bermula dari penugasan Pertamina untuk pengembangan infrastruktur gas. Ketika itu, pemerintah berencana membuat fasilitas penyimpanan regasifikasi (FSRU) di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pembangunan tersebut membutuhkan kepastian pasokan gas demi keekonomian proyek. Pertamina lalu melakukan penjajakan kerja sama dengan Cheniere Energy, perusahaan asal Amerika Serikat.
Siaran pers Pertamina yang terbit pada 5 Desember 2013 menuliskan Pertamina dan Chenier telah menandatangani perjanjian jual beli atau SPA. Keduanya sepakat untuk pasokan LNG sekitar 0,8 juta ton per tahun selama 20 tahun.
Chenier akan memulai pasokan pada 2018 dari kilang LNG yang sedang dikembangkan di Corpus Christi, Texas, AS. “Ini merupakan tonggak penting bagi Indonesia, khususnya Pertamina, karena menjadi komitmen pembelian LNG pertama dari pemasok internasional,” tulis siaran pers tersebut.
Impor LNG itu juga untuk mengantisipasi peningkatan permintaan gas domestik sekitar 3,9% mencapai 7,2 miliar kaki kubik per hari (bcfd) pada 2025. Terutama untuk pembangkit listrik dan sektor industri di Jawa dan Sumatera.
Pasokan LNG dari Chenier akan disalurkan ke dua terminal penerima LNG Pertamina, yang sedang dalam proses pelaksanaan proyek. Keduanya adalah LNG Storage and Regasification Arun, Aceh, dan FSRU Jawa Tengah.
Kembali ke dakwaan, jaksa menyebut Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan dan direksi Pertamina lainnya menyetujui pembelian LNG tersebut tanpa tanggapan tertulis dewan komisaris dan persetujuan rapat umum pemegang saham.
Pembelian LNG dari Chenier untuk Train 1 mencapai sekitar 11,3 kargo dengan jangka waktu 20 tahun (2019-2039). Lalu, Train 2 dengan volume yang sama untuk jangka waktu 20 tahun, dari 2020 hingga 2040.
Sebelum penandatangan kesepakatan, Karen sempat bertemu dengan CEO Tamarind Energy Ian Angell dan Chief Tamarind Energy Indonesia Gary Hing pada Juni 2014. Dalam pertemuan juga hadir Managing Director Private Equity Group Blackston Angelo Acconcia.
Blackstone, melalui Tamarind Energy, merupakan pemilik Cheniere. Jaksa mengatakan, Karen lalu meminta ditempatkan sebagai pejabat di Cheniere Energy karena telah mengamankan pembelian LNG.
Permintaan itu dikabulkan. “Maka terdakwa diberikan jabatan oleh Blackstone,” tulis dakwaan tersebut. Karen mendapat uang dari Blackstone dari periode 28 April 2015 sampai dengan 29 Desember 2015. Nilainya mencapai Rp 1,09 miliar dan US$ 104.016.
Selain itu, Karen juga didakwa memperkaya korporasi, yakni Corpus Christi Liquefaction LLC sebesar US$ 113,8 juta atau setara Rp 1,8 triliun. Angka terakhir ini yang disebut negara sebagai kerugian negara.
Kerugian terjadi karena seluruh kargo yang dibeli Pertamina tidak terserap pasar domestik. Prediksi konsumsi gas tidak sesuai harapan, lalu terjadi pandemi Covid-19. Alih-alih menutup kebutuhan, kargo-kargo tersebut membuat kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke Indonesia. Pada 2019, Pertamina mulai menjual gas alam Cheniere di pasar internasional.
Karen tak terima dengan dakwaan itu. Menurut dia, hukum tidak adil karena menahannya dengan alasan merugikan negara. Padahal, kerja sama kontrak pengadaan LNG tersebut telah memberikan keuntungan bagi Pertamina.
Ketika bersaksi di pengadilan, Senior Vice President for Downstream, Gas & Power, New & Renewable Business Development & Portofolio Pertamina (2021-2024) Aris Mulya Azof mengatakan penjualan LNG Pertamina pada 2019 hingga 2023 terhitung positif.
“Sejak hari pertama penjualan sampai dengan 95 kargo, besarnya akumulasi gross margin sebesar US$ 91,6 juta positif,” ucap Aris.