Kelas Menengah Bertambah, Tapi Kesenjangan Makin Lebar
KATADATA ? Selama 10 tahun memimpin pemerintahan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan telah berhasil meningkatkan jumlah kelas menengah baru. Penciptaan kelas menengah, secara eksplisit disampaikan SBY sebagai tujuan pembangunan nasional untuk mengurangi kemiskinan.
Salah satu indikator naiknya jumlah kelas menengah yang disampaikan SBY adalah naiknya produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia dari US$ 1.161 pada 2004 menjadi US$ 3.475 pada 2013. Rata-rata selama 10 tahun pemerintahannya, PDB per kapita tumbuh 13 persen per tahun.
?Kenaikan pendapatan per kapita ini juga menjadi tolok ukur peningkatan kemakmuran rakyat Indonesia secara umum,? kata dia saat membacakan pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jumat (15/8).
(Baca: Tujuan Ekonomi SBY Ciptakan Kelas Menengah Baru)
Meski terjadi kenaikan pendapatan per kapita, namun nyatanya selama masa pemerintahannya justru kesenjangan semakin meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat rasio gini Indonesia justru meningkat dalam 10 tahun pemerintahan SBY.
Rasio gini adalah ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Pada 2005, rasio gini Indonesia sebesar 36,3 persen, meningkat menjadi 41,3 persen pada 2013.
Laporan Credit Suisse's Global Wealth Databook 2013 juga menunjukkan rasio gini di antara penduduk berusia dewasa di Indonesia pun menunjukkan peningkatan. Pada 2010 rasio gini di antara penduduk dewasa sebesar 77,3 persen, meningkat jadi 82,8 persen pada 2013.
(Baca: Pekerjaan Rumah Presiden Baru)
Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, beberapa waktu lalu pernah mengatakan kesenjangan yang makin lebar lantaran kualitas pertumbuhan yang menurun. Hal ini disebabkan beralihnya fokus perekonomian dari sektor tradable yang mencakup sektor pertanian, pertambangan, dan manufaktur yang menyerap tenaga kerja ke sektor non-tradable.
Dia mencontohkan sektor non-tradable antara lain hotel, restoran, transportasi, dan komunikasi yang pangsa pasarnya domestik. Menurutnya, pergeseran sektor produksi ini akan menyebabkan masalah bagi Indonesia, terutama jika ekonomi global mengalami perbaikan.
Persoalannya, kata Destry, kemampuan ekonomi dalam menyerap tenaga kerja semakin berkurang. Pada 2007, dia mencontohkan, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 710 ribu orang. Sementara pada 2012, setiap 1 persen hanya menyerap 184 ribu orang.
Peralihan dari sektor tradable ke non-tradable telah membuat kesenjangan pendapatan semakin lebar. Menurutnya, pendapatan pada masyarakat bawah memang tumbuh, tapi lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi.
?Jadi yang menikmati kenaikan harga saham, kan hanya segmen tertentu. Ini jadi tantangan ke depan, pemerataan bisa kalau arah perkembangan ekonomi merata jadi fokus di manufaktur dan pertanian,? kata Destry.