Jokowi Sudah Tak Berefek, Rupiah Terus Melemah
KATADATA ? Pengaruh kemenangan Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi dalam pemilihan presiden (pilpres) terhadap pasar keuangan Indonesia sudah berakhir. Nilai tukar rupiah tercatat terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada perdagangan hari ini, kurs rupiah diperdagangan pada rentang Rp 11.915-Rp 11.975 per dolar AS. Bahkan pada perdagangan kemarin, rupiah ditutup pada level Rp 11.945 per dolar AS, merupakan titik terendah sejak 27 Juni. Pada saat itu, kurs rupiah bertengger di level Rp 12.030 per dolar AS.
Berdasarkan data, dalam dua bulan terakhir titik terkuat rupiah terjadi pada 23 Juli, yakni saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan kemenangan Jokowi dalam pilpres. Saat itu, rupiah berada di posisi Rp 11.497 per dolar AS. Alhasil dibandingkan posisi ketika itu, kurs rupiah pada saat ini sudah turun sebesar 3,9 persen.
(Baca: Rupiah Sentuh Rp 11.497, Menyusul Kemenangan Jokowi)
Saktiandi Supaat, Head of FX Research Maybank, mengatakan saat ini investor akan fokus pada pilihan kabinet Jokowi serta kemampuannya untuk mengumpulkan suara mayoritas di parlemen.
Kemudian, yang juga dipantau adalah komitmen dia untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi. ?Termasuk isu subsidi harga bahan bakar minyak (BBM),? kata Saktiandi dalam riset yang dipublikasikan, Selasa (16/9).
(Baca: Kembalinya ?Jokowi Effect?)
Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas, menuturkan dari sisi eksternal pelemahan rupiah disebabkan menguatnya dolar AS terhadap mata uang euro. Terutama akibat perlambatan ekonomi di kawasan Eropa tersebut. Ini berakibat pada pelemahan nilai tukar di Asia.
Kendati begitu, dia menilai, pengumuman struktur kabinet Jokowi belum berdampak pada pelemahan rupiah. Meskipun struktur kabinet yang diumumkan kemarin di luar ekspektasi, karena Jokowi pernah menyatakan bahwa 70 persen isi kabinet akan dihuni kalangan profesional.
(Baca: Jokowi Effect Terhadap Rupiah Hanya Jangka Pendek)
Pada saat pengumuman postur kabinet, Jokowi menyatakan, tetap mempertahankan 34 kementerian. Sebanyak 18 kementerian akan dipegang kalangan profesional non-partai, sedangkan 16 kementerian dipimpin politisi. ?Tapi itu (struktur kabinet) bukan (penyebab) respons negatif, tetapi memang pelemahan rupiah karena faktor eksternal," katanya.
Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting menilai, pelemahan rupiah saat ini disebabkan Indonesia berada pada periode transisi pemerintahan. ?Sehingga kebijakan-kebijakan positif belum ada yang mendukung keinginan pasar,? ujarnya.
(Baca: Pemerintah Jokowi Perlu Antisipasi Kebijakan The Fed)
Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya mengingatkan pemerintahan Jokowi untuk mewaspadai kebijakan suku bunga the Fed. Langkah bank sentral AS tersebut dapat berdampak pada ketatnya likuiditas di pasar keuangan Indonesia.
Bahkan lembaga pemeringkat Moody?s Investors Service pun mengingatkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan, selain India, terhadap pembalikan arus modal yang disebabkan kebijakan the Fed. Penyebabnya, neraca transaksi berjalan Indonesia termasuk yang terbesar di kawasan, yakni mencapai 4,27 persen terhadap produk domestik bruto pada kuartal II-2014.
Sumber: Bloomberg