Namanya Dicatut Setya Novanto, Luhut Merasa Tak Tercemar
KATADATA - Sepulangnya dari kunjungan dinas ke Australia, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan membantah terlibat dalam kasus dugaan bagi-bagi saham divestasi PT Freeport Indonesia. Dugaan itu muncul berdasarkan transkrip rekaman percakapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dengan pengusaha Muhammad Reza Chalid dan Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsuddin.
“Saya tidak terlibat urusan itu, saya melakukan tugas Polhukam,” kata Luhut dalam jumpa pers selama 15 menit di kantor Kementerian Polhukam, Jakarta, Kamis pagi (19/11). Rencananya, jumpa pers itu digelar Rabu sore lalu (18/11). Namun, Luhut mengaku baru pulang dari Australia Rabu malam, sehingga belum mengetahui lebih jauh mengenai kasus transkrip rekaman percakapan tersebut.
(Baca: Tiga Orang di Balik Rekaman Skenario Kontrak Freeport)
Sekadar informasi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh Setya dan Reza Chalid terkait perpanjangan kontrak Freeport, kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Senin lalu (16/11). Laporan itu disertai dengan bukti transkrip dan rekaman pembicaraan yang melibatkan Setya, Reza dan diduga Maroef Sjamsudin.
Dalam transkrip rekaman yang beredar di kalangan wartawan, Setya dan Reza beberapa kali menyebut nama Luhut. Setya menyebut Luhut telah berbicara dengan Chairman Freeport-McMoran Inc James Robert Moffet (Jim Bob) untuk meminta agar 10 persen dari 30 persen saham Freeport yang akan didivestasi dibayarkan menggunakan dividen. Namun, ide tersebut tidak disukai oleh Presiden Jokowi dan akhirnya menjadi perdebatan.
Selain itu, Setya menyatakan, Luhut telah mengetahui jatah saham Freeport yang akan diberikan untuk Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Adapun Reza menyebutkan peran Luhut dalam besaran saham untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk mendukung perpanjangan kontrak Freeport.
Luhut membantah pernah berbicara dengan pihak Freeport saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS) beberapa bulan lalu. Kunjungan itu hanya bertujuan mempersiapkan lawatan Jokowi ke AS. "Saya telah berjanji kepada istri saya, tidak akan berbisnis sepeser pun selama saya menjabat. Saya tidak akan melacurkan profesionalisme. Saya telah selesai dengan diri (bisnis) saya," tandas Luhut.
Dalam kesempatan yang sama, Luhut menepis dugaan keterlibatan Darmawan Prasodjo, bekas bawahannya di Kantor Staf Kepresidenan, dalam perpanjangan kontrak Freeport seperti di dalam transkrip rekaman percakapan tersebut. Ia mengatakan Darmo, panggilan akrab Darmawan, hanya bertugas membuat kajian perpanjangan kontrak beberapa tambang strategis di Indonesia, seperti Freeport, Blok Masela, dan Blok Mahakam. "Darmo telah melakukan tugas baik," kata Luhut.
Meski membantah klaim Setya dan Reza dalam transkrip rekaman itu, Luhut merasa tidak tercemar nama baiknya dan tak mempersoalkan pencatutan namanya. “Namanya nyatut, suka-suka dia,” katanya. Karena itulah, Luhut tidak berencana melaporkan Setya ke penegak hukum. "Saya tidak ada waktu untuk mengambil langkah hukum," tandasnya.
Bahkan, Luhut meyakini Presiden Jokowi tidak akan mengambil langkah serupa untuk mengadukan Setya atas sangkaan pencemaran nama baik. "Coba lihat, mana pernah Presiden menggugat orang, tidak pernah," ujarnya. Ia pun tak akan mencampuri langkah Sudirman Said melaporkan kasus pencatutan nama Presiden tersebut ke MKD DPR.
(Baca: Peran Luhut dalam Transkrip Rekaman Kontrak Freeport)
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan akan membawa kasus pencatutan nama dirinya dan Jokowi ke proses hukum. Namun, langkah itu masih menunggu penyelesaian secara politik di MKD DPR. “Biar DPR (dulu). Setelah langkah politik, kami selesaikan secara hukum,” kata Kalla, Senin lalu.
Berikut petikan transkrip rekaman pembicaraan Setya (SN), Reza (R), dan diduga Maroef Sjamsudin (MS), yang berkali-kali menyebut nama Luhut.
SN: Pas saya makan, Presiden samperin saya. Pak Luhut mau bicara. Pak Luhut mau memberikan pendapat, terus saya segera ngobrol-ngobrol.
MS: PLTA? Yang mau memiliki sahamnya siapa?
R: Nominee-nya Pak. … dari Pak Luhut.
MS: Dari Pak Luhut?
R: Saham itu juga memang kemauannya Pak Luhut begitu.
SN: Kalau tidak salah Pak Luhut waktu itu bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut itu sudah ada yang mau diomongin.
R: Gua udah ngomong dengan Pak Luhut , ambilah 11, kasihlah Pak JK Sembilan. Harus adil, kalau tidak ribut.
SN: Jadi kalau pembicaraan Pak Luhut dan Jim di Santiago, empat tahun yang lalu itu dari 30 persen (saham Freeport) itu 10 persen dibayar pakai deviden. Ini menjadi perdebatan sehingga mengganggu konstelasi. Sekarang kita tahu kondisinya, saya yakin juga karena Presiden kasih kode begitu berkali-kali. Segala urusan yang kita titipkan ke Presiden selalu kita bertiga: saya, Pak Luhut, Presiden, setuju saja sudah. Saya ketemu Presiden, cocok. Artinya dilindungi keberhasilan semua ya. Tapi belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri Pak yang gini-gini.
MS: Tapi saya yakin Pak, Freeport pasti jalan.
SN: Jadi kita harus banyak akal. Kita harus jeli, kuncinya itu ada pada Pak Luhut, ada saya
R: Nanti saya bicara Pak Luhut, jadi kapan, terus oke, lalu kita ketemu, iya kan?
SN: Kalau mau cari Pak Luhut, harus cepat. Kasih tanggung jawab nggak. Gimana sukses, kita cari akal.