Penerimaan Bea Keluar Freeport dan Newmont Masih Rendah

Muchamad Nafi
8 Januari 2016, 19:28
Newmont_ptnnt.co_.id_.jpg
KATADATA/

KATADATA - Penerimaan bea keluar dari PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara pada 2015 diperkirakan Rp 2,88 triliun. Angka tersebut 74 persen dari total realisasi penerimaan bea keluar tahun lalu sebesar Rp 3,9 triliun. Seluruh penerimaan ini lebih rendah dibanding 2014 yang mencapai Rp 11,3 triliun.

Meski begitu, Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan penerimaan dari kedua perusahaan ini lebih tinggi dibandingkan 2014 yang hanya mencapai Rp 2,6 triliun. Ketika itu, penerimaan bea keluar dari Freeport dan Newmont masing-masing Rp 922,5 miliar dan Rp 1,6 triliun. Dengan kuota ekspor konsentrat tembaga Freeport 940.989 metrik ton sampai 25 Januari 2015. Dan Newmont sebanyak 304.515 metrik ton sampai 18 Maret 2015. (Baca: Harga Komoditas Turun, Penerimaan Bea Keluar Tak Tercapai).

Advertisement

Sementara itu, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sugeng Aprianto menyebutkan penerimaan bea keluar dari Newmont targetnya Rp 1,4 triliun. Dengan begitu, pendapatan dari Freeport diperkirakan sebesar Rp 1,48 triliun. “Totalnya Rp 2,88 triliun,” kata dia kantornya, Jakarta, Jumat, 8 Januari 2016. Karena itu, dia melanjutkan, kedua perusahaan tersebut menjadi andalan penerimaan dari sektor mineral dan batu bara.

Sebab, di sektor lain, pendapatan dari ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil/CPO berkurang. Padahal penerimaan bea keluar di di tahun-tahun sebelumnya banyak disumbang komoditas ini. Namun sejak akhir 2014, harga CPO internasional di bawah batas (treshold) pengenaan bea keluar US$ 750 per metrik ton. Menurunnya ekspor mineral mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan bea keluar sebesar Rp 8,1 triliun. Karena itu penerimaan bea keluar tahun lalu lebih rendah dari 2014 sebesar Rp 11,3 triliun. “Andalannya di sektor minerba, karena CPO treshold lagi di bawah, sejak awal tahun pun sudah nggak ada penerimaan CPO,” tutur Sugeng. 

Rendahnya penerimaan sektor minerba ini sejak diberlakukannya larangan ekspor konsentrat mineral. Pemerintah melarang perusahaan yang belum membangun pabrik pengolahan dan pemurian mineral atau smelter untuk mengekspor produknya mulai awal 2014. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. (Baca: Bebas Bea Keluar Jika Kemajuan Smelter Sudah 30 Persen).

Ketika itu, pemerintah memang telah menghitung kemungkinan penurunan pendapatan dari bea keluar mineral. Namun dengan mempertimbangkan penegakan hukum dan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri maka pemerintah tetap menjalankan kebijakan larangan ekspor ini. Hal itu mendapat protes keras dari sejumlah perusahaan terutama Freeport dan Newmont. Pemerintah akhirnya memberi izin terbatas, secara kuota, dengan melihat kemajuan pembangunan smelter.

Sementara itu, tahun lalu, penerimaan negara dari bea masuk, bea keluar, dan cukai berturut-turut Rp 32 triliun, Rp 3,9 triliun, dan Rp 144,6 triliun. Realisasi bea masuk ini lebih rendah  33 persen dari 2014, sehingga devisa impor menurun 23 persen. (Lihat pula: Gandeng Ditjen Pajak, Bea Cukai Bidik Penerimaan Lebih Tinggi).

Pendapatan cukai mencapai Rp 145 triliun, di mana 97 persen dari jumlah tersebut disumbang oleh cukai rokok. Khusus cukai rokok tercapai 100,3 persen dari target, yakni Rp 139,5 triliun. Pencapaian ini didukung oleh upaya lebih berbentuk peningkatan pengawasan rokok dan minuman keras ilegal. Selain itu ada pula kebijakan untuk melunasi kredit cukai rokok tidak melewati tahun berjalan. Juga, menaikan tarif cukai 2016 yang diterbitkan November 2015.

Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement