Tiga Tahun Molor, SKK Migas Desak DPR Rampungkan RUU Migas
KATADATA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi. Mengingat sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas pada 2012, pembahasan revisi UU tersebut tidak kunjung selesai.
Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan saat ini investor membutuhkan kepastian hukum untuk berinvestasi. Jika UU ini dapat diselesaikan dengan cepat maka akan memberikan kepastian investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas). (Baca: Kementerian ESDM Ingin Dana Ketahanan Energi Masuk RUU Migas)
Benny mengatakan salah satu poin penting yang harus dijelaskan dalam UU tersebut adalah kelembagaan SKK Migas. Menurut dia sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 menganggap Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Lembaga ini juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
SKK Migas sebagai pengganti BP Migas seharusnya bersifat sementara. Apalagi SKK Migas hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden, yang kekuatannya juga tidak terlalu kuat dibandingkan Undang-Undang. “Bentuk regulator yang selama ini dipegang SKK Migas itu mau dibawa ke mana?” kata dia usai acara Luncheon Talk Oil and Gas IATMI di Jakarta, Rabu (13/01).
Menurut dia skema kelembagaan apapun untuk SKK Migas pasti memiliki kelemahan, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus yang diusulkan pemerintah. Apalagi skema ini juga jarang dipakai di negara lain. (Baca: Pemerintah Rumuskan 15 Poin Penting dalam RUU Migas)
Dia juga menganggap tidak tepat jika SKK Migas di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) karena akan rawan jika ada gugatan hukum. Seharusnya SKK Migas berdiri sendiri atau bergabung dengan PT Pertamina (Persero). Namun, belum tentu juga DPR dan pemerintah menginginkan agar SKK Migas bergabung ke Pertamina seperti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971.
Menurut dia jika SKK Migas digabung dengan Pertamina ada kekhawatiran bisa menimbulkan benturan kepentingan. Satu sisi Pertamina sebagai badan usaha, sisi lain Pertamina juga berfungsi sebagai pengawas kontraktor. “Semua punya kelemahan dan kekurangan. Yang penting Undang-Undangnya dikeluarkan segera biar ada kepastian,” ujar dia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widhya Yudha mengatakan Undang-Undang ini akan segera diselesaikan. Menurut dia revisi UU ini merupakan salah satu amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan tersebut, dia mengatakan status SKK Migas memang hanya sementara.
“Tapi kenyataannya, lebih dari setahun mereka menjadi institusi yang menjalankan tugasnya tidak seperti apa yang kami harapkan,” ujar dia. (Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas)
Saat ini DPR masih mengkaji mengenai kelembagaan yang tepat untuk SKK Migas. Menurut dia SKK Migas harus independen, tidak berada di bawah Kementerian ESDM. Dia khawatir negara bisa langsung berhadapan dengan kontraktor migas jika ada masalah.
“Kami sebagai anggota DPR tidak menginginkan seperti itu terjadi. Maka dalam revisi UU Migas ke depan, itu menjadi item yang penting karena masuk kedalam bagian tata kelola minyak dan gas bumi,” ujar dia.
Selain kelembagaan SKK Migas, poin penting lain dalam RUU Migas adalah adanya dana migas (Petroleum Fund). Konsep Petroleum Fund nantinya akan mengalokasikan sebagian dari pendapatan migas nasional untuk memperbaiki kinerja, ataupun cadangan-cadangan migas dalam negeri. (Baca: DPR Mengkaji Plus-Minus Sistem Kontrak Kerjasama dalam RUU Migas)