Minyak Blok Cepu ke Kontraktor Swasta Setop, 800 Pekerja Menganggur
KATADATA - Berhentinya transaksi jual-beli minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur kepada kontraktor swasta PT Tri Wahana Universal (TWU) berbuntut panjang. Ratusan pekerja subkontrak TWU pun harus menganggur.
Direktur Utama TWU Rudi Travinos mengatakan, pihaknya saat ini masih menunggu kepastian dari pemerintah untuk memperpanjang kontrak jual-beli minyak Blok Cepu. Pasalnya, pemerintah selaku pemegang kuasa penjualan minyak belum menentukan harga jual minyak Blok Cepu. Hingga kini, Kementerian ESDM memang masih mengevaluasi harga jual minyak mentah yang akan dipasok ke kilang TWU.
“Masalahnya lama sekali goverment ini menetapkan harganya. Dampaknya banyak orang yang terlibat di TWU seperti transportasi merumahkan 800 orang karyawannya,” kata dia kepada Katadata, Kamis (4/2).
(Baca: SKK Migas: Puncak Produksi Blok Cepu April 2016)
Meski kilang TWU mendapat pasokan minyak langsung dari sumur di Lapangan Banyu Urip, menurut Rudi, pemerintah menginginkan harga penjualan minyak itu mengacu kepada harga minyak dari kapal tanker di Tuban. Tapi, TWU menolak keinginan pemerintah tersebut. TWU menginginkan harga minyak Blok Cepu dihitung menggunakan acuan harga di mulut sumur. Meski begitu, Rudi menyerahkan keputusan harga minyak Blok Cepu kepada pemerintah.
Sekadar informasi, TWU merupakan anak perusahaan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk., yang dimiliki Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya. Selama ini kilang TWU mendapat pasokan dari Blok Cepu sebesar 16.000 barel per hari (bph) dari fasilitas Early Oil Expansion (EOE) dan Early Production Facility (EPF) di Blok Cepu.
Ke depan, Rudi berharap TWU mendapatkan kuota yang sama. Persoalannya, TWU harus memasok minyak dari fasilitas produksi utama (Central Production Facility/CPF) karena kontrak dua fasilitas sebelumnya tidak diperpanjang.
(Baca: ESDM Minta Kontrak Penjualan Minyak Blok Cepu ke Swasta Diperpanjang)
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari H. Soemarno menilai, TWU tidak bisa menggunakan acuan harga dari kontrak lama. Sebab, kondisi saat ini berbeda dengan kontrak sebelumnya. Saat itu, dia mengatakan, TWU mendapatkan diskon harga karena minyak yang dihasilkan Blok Cepu tidak bisa dipasok ke tempat lain gara-gara fasilitas untuk produksi (Floating Production, Storage and Offloading/FPSO) belum terbangun.
Saat kontrak TWU berakhir dan FPSO sudah jadi, menurut Ari, maka harus menggunakan harga baru. Jika harga kontrak lama masih digunakan bakal berpotensi merugikan negara. Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga bisa menjadikan hal itu sebagai objek pemeriksaan. Ketika badan pengawas itu menemukan adanya kerugian negara maka harus ada pihak yang bertanggung jawab.
(Baca: SKK Migas: Perpanjangan Kontrak Fasilitas Blok Cepu Rugikan Negara)
Selain negara, kontraktor juga bisa merugi dengan skema tersebut. Blok ini dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Limited dengan saham yang dimiliki sebesar 45 persen di Lapangan Banyu Urip. PT Pertamina EP Cepu juga memiliki 45 persen saham di Blok Cepu. Sisanya dimiliki oleh empat Badan Usaha Milik Daerah yakni PT Blora Patragas Hulu, PT Petrogas Jatim Utama Cendana, PT Asri Darma Sejahtera, dan PT Sarana Patra Hulu Cepu.
Jika minyak jatah Pertamina EP Cepu dijual ke TWU dengan harga yang lama, maka Pertamina akan menanggung beban dua kali. Pertama, menjual minyak dengan harga murah ke TWU. Kedua, produk hasil olahan kilang pun harus dibeli Pertamina. Sama halnya dengan Pertamina, operator Blok Cepu yakni ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) pun bisa mengalami kerugian jika harus menjual minyaknya ke TWU dengan harga acuan kontrak lama. “Misalnya bisa jual 50 tapi dijual cuma 48, kan rugi,” ujar Ari ketika berbincang dengan Katadata, Selasa (2/2).
Pemerintah mengakui saat ini belum bisa memberikan kepastian besaran harga penjualan minyak Blok Cepu. Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Cahyono mengatakan saat ini masih membahas mengenai hal tersebut. “Sedang disesuaikan teknis, legalitas dan komersialitas dengan perpindahan dari fasilitas produksi EPF dan CPF di Lapangan Banyu Urip," ujar dia kepada Katadata, Kamis (4/2).