Dana Minim, Pemerintah Gandeng Swasta Bangun Infrastruktur Gas
KATADATA - Pemerintah menyusun konsep pembangunan infrastruktur gas bumi hingga 2030. Namun, kebutuhan pendanaannya sangat besar sehingga pemerintah mendorong keterlibatan swasta untuk turut membangun infrastruktur gas tersebut.
Berdasarkan konsep yang disusun pemerintah, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono mengatakan, pembangunan infrastruktur hingga 2030 memerlukan dana sekitar US$ 24,8 miliar atau setara dengan Rp 327 triliun. Rinciannya, pembangunan jaringan pipa sebesar US$ 1,2 miliar, gas kota US$ 2,2 miliar, dan infrastruktur elpiji US$ 400 juta. Sedangkan dana untuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebesar US$ 1,93 miliar, regasifikasi US$ 6,1 miliar dan Liquefaction US$ 1,3 miliar.
(Baca: Pemerintah Kesulitan Cari Pembeli Gas di Dalam Negeri)
Namun, pemerintah tentu tidak sanggup membangun seluruh infrastruktur gas itu karena keterbatasan dana. Karena itu, pemerintah perlu melibatkan perusahaan swasta. Jika perusahaan swasta juga kesulitan membangun infrastruktur gas karena dinilai tidak ekonomis, maka pemerintah akan turun tangan membiayainya dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Agus mengatakan, dana dari APBN ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur di wilayah berkembang. “Ini dimaksudkan untuk sebagai pemicu (perkembangan) pasar di situ. Terutama di wilayah-wilayah perbatasan,” kata dia berdasarkan siaran pers Kementerian ESDM, Kamis (16/3).
Ia menjelaskan, pembangunan infrastruktur gas dilakukan secara bertahap. Dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur meliputi jaringan gas bumi untuk rumah tangga, SPBG dan pipa gas. Sedangkan pembangunan terminal penerimaan gas atau receiving terminal, diharapkan dapat dilakukan oleh perusahaan swasta.
Khusus untuk fasilitas receiving terminal, pemerintah tengah memetakan titik-titik lokasi pembangunannya. Infrastruktur ini terutama untuk mendukung program pembangkit listrik berkapasitas 35 gigawatt (GW). “Jadi receiving terminal dikembangkan bersama-sama fasilitas penyaluran gas agar pembangunannya terkoneksi,” kata Agus.
(Baca: Pemerintah Tidak Akan Perpanjang Kontrak Gas Jangka Panjang)
Ketersediaan infrastruktur gas memang kerap menjadi kendala dalam penyerapan gas jatah dalam negeri. Tahun lalu, hanya 31,5 kargo dari 49,5 kargo gas jatah dalam negeri yang bisa terserap. Dari total produksi gas bumi 8,111 juta kaki kubik per hari (mmscfd), 44,99 persen disalurkan untuk ekspor. Sisanya dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri. Rinciannya, ekspor gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) sebesar 32,1 persen dan gas pipa sebesar 12,89 persen.
Sementara di dalam negeri, pasokan gas paling banyak digunakan untuk industri sebesar 18,65 persen dan kelistrikan 13,86 persen. Selain itu, untuk industri pupuk 10,89 persen, LNG domestik 4,41 persen, elpiji domestik 3,12 persen, lifting minyak 3,99 persen, Bahan Bakar Gas transportasi 0,06 persen dan gas kota 0,03 persen.
(Baca: SKK Migas Tambah Alokasi Gas Dalam Negeri)
Di sisi lain, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meningkatkan alokasi gas untuk di dalam negeri pada tahun ini menjadi sebanyak 60 kargo. Padahal, 18 kargo jatah dalam negeri pada tahun lalu tidak terserap. Kepala Divisi Komersial Gas SKK Migas Sampe L. Purba mengatakan, 60 kargo gas itu akan dipasok dari Kilang Bontang dan Kilang Arun. Sebanyak 80 persen gas jatah dalam negeri tersebut akan diserap oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Gas ini nantinya akan digunakan untuk pembangkit listrik di berbagai wilayah.