Cost Recovery Migas Bermasalah, Pemerintah Kaji Sistem Baru Kontrak
Kontroversi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penyimpangan pengembalian biaya operasi kontraktor minyak dan gas bumi (migas) oleh pemerintah atau kerap disebut cost recovery, terus bergulir. Agar kasus itu tidak terulang lagi di masa depan, pemerintah mempertimbangkan untuk merevisi sistem cost recovery tersebut.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan untuk menghindari salah persepsi atau temuan BPK soal cost recovery setiap tahun, sistem tersebut bisa diganti dengan skema baru. Ada beberapa opsi yang bisa dipilih, seperti pajak dan royalti, konsesi, kontrak jasa dan gross split sliding scale.
Djoko mengatakan, sistem gross split sliding scale ini sebenarnya sudah bisa digunakan untuk blok migas nonkonvensional. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 tahun 2015. “Sistem Gross Split Sliding Scale tidak menganut cost recovery. Makanya ini bisa menjadi jawaban atas masalah yang selalu terjadi pada kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC) yang menganut sistem cost recovery,” kata dia kepada Katadata, Kamis (14/4).
(Baca: KEN Rekomendasikan Pencabutan Aturan Cost Recovery dan PPh Hulu Migas)
Agar sistem baru tersebut bisa diterapkan, pemerintah juga tengah membuat payung hukumnya. Bahkan, menurut Djoko, semua alternatif tersebut dimasukkan dalam draf Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang akan digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Senada dengan Djoko, anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widhya Yudha mengatakan, ke depan sistem kontrak migas tidak hanya menggunakan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). “Kami berikan opsi, apakah mengunakan PSC atau PSC yang dimodifikasi seperti gross revenue split,” ujar dia kepada Katadata, Kamis (14/4).
(Baca: Penyimpangan Cost Recovery, SKK Migas Bisa Potong Lifting Kontraktor)
Meski begitu, Satya menilai, temuan BPK mengenai penyimpangan cost recovery itu bukan semata-mata kesalahan sistem kontraknya. Buktinya, cost recovery dalam sistem PSC itu adalah penemuan bangsa Indonesia yang dipakai sampai sekarang di banyak negara.
Di sisi lain, dia memandang, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) sebagai pengawas kontraktor, seharusnya bisa lebih ketat untuk mengawal proses cost recovery. “Kalaupun ada penyimpangan cost recovery lebih didasarkan pada pola pengawasan yang dilakukan SKK Migas belum maksimal,” katanya.
Sekadar informasi, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2015 yang diserahkan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (12/4) kemarin, menunjukkan ada biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery pada tujuh wilayah kerja KKKS. Total nilainya sekitar Rp 4 triliun. (Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)
Rinciannya South Natuna Sea “B” yang dioperatori ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd., Corridor oleh ConocoPhillips (Grissik) Ltd Rp 2,23 triliun. Disusul Mahakam oleh Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation, Rp 936,29 miliar. Kemudian Eks Pertamina Block yang operatornya adalah PT Pertamina EP Rp 365,62 miliar, Blok Rokan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Rp 312,34 miliar, Natuna Sea A oleh Premier Oil Natuna Sea B.V. Rp 91,06 miliar dan South East Sumatra yang dioperatori CNOOC SES LTD, Rp 65,91 miliar.