Medco Tunda Pengembangan Proyek CBM Blok Sekayu
Rendahnya harga minyak dunia ternyata tidak hanya memukul industri minyak dan gas bumi (migas) konvensional, tapi juga nonkonvensional. Kondisi ini menyebabkan penundaan sejumlah proyek, seperti PT Medco Energi Internasional Tbk yang menunda proyek pengembangan gas metana dan batubara atau coal bed methane (CBM).
Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro mengatakan, sejak akhir 2015 lalu perusahaan sudah menghentikan kegiatan eksplorasi di Blok Sekayu. Pertimbangannhya, pengembangan blok migas di Suamtera Selatan ini tidak lagi ekonomis di tengah anjloknya harga minyak dunia. "Ketentuan fiskal yang ditawarkan pemerintah untuk CBM sangat tidak menarik secara ekonomis. Apalagi dalam keadaan harga minyak yang rendah seperti sekarang," kata dia kepada Katadata, Senin (18/4).
Medco berencana akan melanjutkan kembali proyek ini kalau harga minyak dunia telah menyentuh level US$ 60 per barel. Sekadar informasi, saat ini harga minyak jenis Brent untuk kontrak Juni 2016 berada di kisaran US$ 40,58 per barel. Sementara untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) US$ 38,13 per barel. (Baca: Medco Dapat Perpanjangan Kontrak Blok Lematang)
Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 tahun 2015 sebagai insentif untuk industri migas nonkonvensional. Dalam aturan tersebut, skema bagi hasil untuk migas nonkonvensional seperti minyak serpih (shale oil) dan gas metana batu bara atau coal bed methane (CBM) berbeda dengan migas konvensional.
Ada dua skema bagi hasil yang bisa digunakan dalam kontrak migas nonkonvensional, yakni sliding scale dan gross split sliding scale. Bagi hasil pada skema sliding scale bersifat progresif berdasarkan akumulasi produksi. Semakin besar produksi, maka bagi hasil yang didapat negara kian besar. Begitu juga sebaliknya. Skema ini masih menggunakan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery). Tapi, pemerintah sampai saat ini belum menentukan besaran bagi hasilnya.
Sementara skema gross split sliding scale tidak menggunakan sistem cost recovery. Perhitungan bagi hasilnya masih kotor, sebelum dikurangi biaya operasi. Bagi hasilnya bersifat progresif yang diakumulasikan dalam satu tahun. Pada kontrak migas konvensional, bagi hasil untuk negara biasanya 80 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas. (Baca: Harga Minyak Anjlok, Aset Medco Tergerus US$ 180 Juta)
Adanya aturan tersebut menurut Hilmi memang bisa membantu kontraktor migas non konvensional. Sehingga perlu segera diterapkan. “Peraturan Menteri tersebut memungkinkan untuk mengubah kontrak yang ada dan di saat harga minyak lebih tinggi dari sekarang bisa jadi menarik,” ujar dia.
Dikutip dari situs resminya, di Blok Sekayu Medco bertindak sebagai operator dengan hak pengelolaan 50 persen, sisanya dipegang South Sumatra Energy Inc (SSE Inc). Hingga saat ini Perseroan telah mengebor empat sumur di Blok Sekayu, dua di antaranya telah dilanjutkan dengan proses dewatering dan menghasilkan gas yang saat ini telah dimanfaatkan untuk listrik penerangan di sekitar lokasi sumur. Perseroan merencanakan akan memasok gas CBM dari blok ini untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di sekitar lokasi operasi. (Baca: Teken Kontrak Konstruksi US$ 240 Juta, Medco Mulai Garap Blok A)
Selain Blok Sekayu, Medco juga memiliki blok CBM lainnya yakni Muralim dan Lematang. Di Blok Muralim, Perseroan bermitra dengan Dart Energy Limited, selaku operator blok, yang merencanakan pengeboran dua sumur coring. Medco juga menjadi operator di Blok CBM Lematang dan memiliki mitra PT Metahnindo Energi Resourches yang memiliki hak kelola 40 persen dan PT Saka Energi Indonesia dengan hak kelola lima persen.