Darmin Minta Cina Bantu Atasi Defisit Dagang Indonesia
Pemerintah Indonesia mengharapkan adanya perbaikan realisasi investasi dan kerjasama perdagangan, termasuk mengatasi masalah defisit perdagangan dengan Cina. Untuk itu, pemerintah Indonesia dan Cina menggelar pertemuan tingkat tinggi bertajuk “The 2nd Meeting of High Level Economic Dialogue RI-RRC” di Jakarta, Senin (9/5).
“Kita memang ada pertemuan tahunan antara Deputi Perdana Menteri dan State Councillor Cina. Ini (pertemuan) yang kedua,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Dalam acara tersebut, dia menyampaikan empat persoalan penting kerjasama ekonomi di antara kedua negara. Yakni defisit neraca dagang Indonesia ke Cina, realisasi investasi Cina yang masih kecil di Indonesia, perpanjangan kerjasama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), dan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Menurut dia, neraca dagang Indonesia dengan Cina mengalami defisit di pihak Indonesia selama dua tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Stattistik (BPS), nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Cina pada periode Januari-Maret 2016 mencapai US$ 2,84 miliar atau turun 9,34 persen dibandingkan periode sama 2015. Sedangkan nilai impor pada periode tersebut tahun ini sebesar US$ 7,13 miliar. Artinya, nilai defisit dagang dengan Cina sekitar US$ 4,29 miliar.
(Baca: Pemerintah Cina Janji Tak “Ekspor” Banyak Pekerja ke Indonesia)
Adapun sepanjang tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke Cina mencapai US$ 13,26 miliar atau turun 19,44 persen dibandingkan 2014. Sebaliknya, nilai impor dari Cina sepanjang 2015 sebesar US$ 29,22 miliar atau cuma turun 4,08 persen. Alhasil, sepanjang 2015, nilai defisit dagang Indonesia dengan Cina mencapai US$ 15,96 miliar.
Karena itulah, pemerintah meminta Cina turut menganalisa dan merumuskan langkah-langkah untuk mengatasi persoalan defisit dagang tersebut. “Agar menuju perdagangan bilateral yang berimbang dan berkelanjutan," kata Darmin. Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Negara Cina Yang Jiechi menjanjikan pihaknya akan mendorong perusahaan-perusahaan Cina untuk menggenjot impor produk asal Indonesia.
(Baca: Kendala Investasi Cina Akan Diselesaikan Lewat WhatsApp)
Secara lebih detail, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman menyatakan, defisit dagang dengan Cina meningkat terus dalam empat tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh ekspor Indonesia yang utamanya adalah bahan primer mengalami penurunan harga. “Sekitar 26 persen ekspor kita ke Cina itu dalam bentuk batubara,” katanya. Di sisi lain, permintaan di dalam negeri Cina sendiri memang menurun seiring perlambatan ekonominya.
Dalam pertemuan tersebut, kedua pemerintah sepakat melihat akses pasar Cina yang dapat dimasuki oleh produk-produk Indonesia. Masalahnya, selama ini ada 28 produk komoditas hilir Indonesia yang masih ditutup oleh pemerintah Cina lantaran terkait perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina.
Menurut Rizal, pemerintah tengah merundingkan agar kerjasama ekonomi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dimotori oleh Cina, dapat mengakomodasi 30 komoditas andalan ekspor Indonesia. Contohnya, bea masuk karet saat ini sebesar 20 persen, yang diharapkan bisa turun menjadi 0 persen. Dengan begitu, ekspor karet ke Cina bisa meningkat. “Itu yang sekarang sedang dikerjakan oleh tim perunding Indonesia di RCEP maupun di ASEAN-China FTA dan juga bilateral.”
(Baca: Impor Meningkat, Surplus Neraca Dagang Maret Menciut)
Di sisi lain, peningkatan investasi tidak kalah pentingnya untuk menutup defisit dagang dengan Cina. Termasuk menggenjot jumlah kunjungan wisatawan Cina ke Indonesia. “Jadi dengan defisit perdagangan akan diimbangi dengan masuknya investasi,” katanya.
Menurut Rizal, minat investasi Cina dalam lima tahun terakhir meningkat pesat. Namun, realisasinya masih rendah. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi dari Cina mencapai US$ 2,16 miliar pada 2015 atau naik 47 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk mendorong peningkatan realisasi investasi dari Negeri Panda tersebut, pemerintah Indonesia membentuk China Desk di kantor BKPM. Tujuannya meningkatkan pelayanan kepada investor Cina dan memberi informasi mengenai kebijakan investasi di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga akan membuka Indonesia Investment Promotion Center (IIPC) di Beijing.
Pada kesempatan itu, Darmin juga membahas perpanjangan kerjasama BCSA yang dijalin sejak 2013 dan akan berakhir bulan Oktober mendatang. Perpanjangan itu mencakup kenaikan nilai kerjasama yang telah disepakati, yakni dari 100 miliar renminbi menjadi 130 miliar renmimbi.