Tujuh Alasan SKK Migas Tolak Produksi Blok Cepu Lewati 165 Ribu Bph
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menolak usulan ExxonMobil Indonesia untuk memproduksi Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu hingga 205 ribu barel per hari (bph). SKK Migas ingin puncak produksi lapangan ini hanya 165 ribu bph.
“Kami tetap 165 ribu bph,” kata Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi saat rapat dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Senin (5/8).
Dia mengatakan setidaknya ada tujuh pertimbangan agar produksinya tidak lebih dari 165 ribu bph. Pertimbangan pertamanya berdasarkan aspek teknis. Perhitungan cadangan Lapangan Banyu Urip versi ExxonMobil lebih optimistis karena belum memperhitungkan vuggy (rongga batuan akibat pelarutan) dan fracture (dual porositas).
Kedua, jika produksi meningkat, maka masa puncak produksinya akan lebih pendek. Perhitungan SKK Migas, kesinambungan puncak produksi 165 ribu bph lebih terjaga yaitu 33 bulan. Sedangkan jika digenjot hingga 205 ribu bph, puncak produksinya hanya akan bertahan lima bulan. (Baca: Pemerintah Kaji Peningkatan Produksi Minyak Blok Cepu)
Ketiga, puncak produksi 165 ribu bph dinilai lebih ekonomis bagi pemerintah, jika dibandingkan dengan 205 ribu bph. Hal ini karena adanya skema bagi hasil sliding scale split. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Harga Minyak (US$ per barel) | Bagi Hasil Pemerintah Setelah Pajak (%) | Bagi Hasil Kontraktor Setelah Pajak (%) |
Harga Minyak <35 | 70 | 30 |
35<=Harga Minyak<40 | 75 | 25 |
40<=Harga Minyak<45 | 80 | 20 |
Harga Minyak >=45 | 85 | 15 |
“Dengan produksi puncak 165 ribu bph, pemerintah akan mendapat pendapatan nilai sekarang (present value) US$ 82 juta lebih tinggi dibandingkan dengan skenario puncak produksi 205 ribu bph,” kata Amien. (Baca: Rencana Peningkatan Produksi Blok Cepu Terganjal Izin Lingkungan)
Keempat, produksi lebih dari 165 ribu bph meningkatkan penerimaan bagian kontraktor atas imbalan dari jatah pemenuhan pasar dalam negeri atau Domestic Market Obligation Fee. Imbalan DMO dibayarkan pemerintah dengan acuan harga yang ditetapkan Menteri ESDM.
Perhitungan SKK Migas, dengan produksi puncak 165 ribu bph, pemerintah akan mendapatkan DMO bersih senilai US$ 32,4 juta lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 205 ribu bph. Di sisi lain, kata Amien, Kementerian Keuangan juga belum membayar DMO sebesar US$ 133 kepada kontraktor.
Kelima, kenaikan produksi hingga 205 ribu bph ini memerlukan tambahan investasi untuk memodifikasi fasilitas produksi yang ada. Keenam, untuk kenaikan produksi sampai 205 ribu bph akan memerlukan revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Revisi Amdal perlu dilakukan karena sebelumnya disebutkan bahwa kapasitas produksi Lapangan Banyu Urip sebesar 185 ribu bph, dengan produksi puncak minyak sebesar 165 ribu bph. Untuk mengurus revisi AMDAL ini akan memerlukan waktu tujuh hingga delapan bulan.
Ketujuh, produksi Lapangan banyu Urip yang melebihi 185.000 bph akan menggugurkan garansi kontraktor EPC-1. Dimana dalam kontrak perjanjian antara dengan kontraktor EPC-1, kontraktor EPC- 1 akan memberikan jaminan selama dua tahun bahwa fasilitas produksi utama (CPF) dapat berproduksi 165.000 bph.
Meski begitu, Presiden Direktur ExxonMobil Indonesia Daniel L. Wieczynski mengatakan siap meningkatkan produksi hingga 200.000 bph. Alasannya karena kondisi reservoir atau wadah penampung minyak bumi cukup kuat untuk memproduksi minyak sebesar itu.
“Untuk melakukan hal tersebut, kami harus melakukan amendemen AMDAL dan mitra kami dari Blok Cepu sudah siap,” ujar dia. (Baca: Exxon Usulkan Produksi Blok Cepu 2017 Naik Hingga 200 Ribu Barel)
Sementara rapat Komisi VII dengan SKK Migas dan kontraktor migas memutuskan agar kedua belah pihak mendiskusikan hal itu. Ini untuk menentukan target lifting atau produksi siap jual di 2017.