SKK Migas Tetap Awasi Penggunaan Produk Lokal di Skema Gross Split
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan penerapan skema kerja sama minyak dan gas bumi (migas) gross split tidak akan mengurangi penggunaan produk dan jasa lokal dalam usaha hulu migas. Akan tetap ada pengawasan dan peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan meski menggunakan skema gross split, kontraktor migas tetap harus mengajukan rencana kerjanya dan meminta persetujuan kepada pemerintah. Bedanya, dalam skema yang baru ini kontraktor tidak perlu mengajukan anggaran mengenai biaya mana saja yang perlu diganti pemerintah (cost recovery). Karena seluruh biaya tersebut ditanggung kontraktor.
(Baca: Pengusaha Masih Keberatan Penetapan Skema Bagi Hasil Gross Split)
Dalam penyusunan program kerja itu, SKK Migas akan mengawasi beberapa hal. Termasuk penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang akan digunakan kontraktor dalam program kerja tahunannya.
Selain itu, SKK juga akan mengawasi aspek kesehatan, keselamatan kerja, keamanan dan lindungan lingkungan (HSSE). "Rencananya harus ditinjau ulang. Kalau ada yang ngawur dan ada kecelakaan macam-macam, kan yang disalahkan Menteri ESDM juga," kata Amien, di Jakarta, Selasa (13/12).
Amien mengatakan saat ini ada 85 kontrak yang masih menggunakan production sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil konvensional. Dari jumlah tersebut, ada 35 kontrak yang akan habis masa kontraknya dalam kurun waktu 10 tahun ke depan atau pada 2025.
Menurutnya, 35 wilayah kerja migas tersebut, nantinya akan menggunakan skema gross split pada kontrak barunya. "Migas puyengnya masih sama, jadi kerjanya masih seabrek-abrek," kata dia. (Baca: Skema Baru Gross Split Migas Akan Berlaku Tahun Depan)
Di tempat yang sama, Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan ada beberapa pertimbangan pemerintah menerapkan skema gross split. Skema baru ini lebih efisien, praktis, serta jaminan penerimaan negara lebih pasti, karena tidak lagi menanggung cost recovery.
Alokasi Penggunaan Cost Recovery 2016
Dia mengaku pemerintah akan tetap mengawasi kinerja kontaktor migas dengan skema gross split. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan aturan mengenai alat ukur produksi atau flow meter untuk mengukur produksi minyak secara real time atau dalam satu waktu yang sama di tiap-tiap blok migas.
Mengenai porsi bagi hasil, Djoko menginginkan negara minimal mendapatkan 51 persen bagi hasil setelah lima tahun produksi. “Karena lima tahun produksi kontraktor baru mengembalikan investasinya," kata dia.
Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang mengatakan penggunaan skema gross split satu sisi akan menguntungkan kontraktor. Karena dengan skema ini kontraktor tidak lagi terlibat dalam birokrasi yang panjang dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sebaliknya, skema PSC malah dianggap akan membuat penerimaan negara turun.
Dengan skema PSC saat ini, pemerintah masih memiliki hutang untuk membayar cost recovery kepada kontraktor yang sedang beroperasi. "Jadi meninggalkan utang ke generasi yang akan datang. Bisa jadi penerimaan untuk membayar cost recovery ini tidak cukup," kata Ahmad. (Baca: Lima Penentu Porsi Bagi Hasil dalam Skema Baru Kontrak Migas)
Meski begitu, dia belum mau menjelaskan berapa bagi hasil yang ekonomis bagi Pertamina jika menggunakan skema gross split, terutama pada kontrak migas yang akan datang. "Detailnya nanti lah," ujarnya.