Lampaui Target, Lifting Minyak 2016 Cetak Rekor
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan capaian produksi minyak siap jual (lifting) tahun lalu telah melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Capaian ini merupakan rekor baru setelah 11 terakhir target lifting tidak pernah mencapai target.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan lifting minyak 2016 telah mencapai 820.300 barel per hari (bph), lebih tinggi dari target APBN-P 2016 sebesar 820.000 bph. Sedangkan lifting gas mencapai 1.181,5 mboepd atau 2 persen lebih tinggi dari target sebesar 1.150 mboepd.
"Apresiasi saya untuk kerja keras seluruh pihak,” ungkap Jonan dalam keterangan resminya yang diterima Katadata, Senin (2/1). (Baca: Setelah 12 Tahun, Lifting Minyak Bisa Lampaui Target)
Secara total produksi migas tahun lalu sebesar 2.249 mboepd, sudah 14 persen di atas target APBN-P 2016 yang hanya 1.970 mboepd. Rinciannya, produksi minyak sebesar 831.000 bph dan produksi gas mencapai 1.418 mboepd.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi juga meyakini bahwa realisasi lifting tahun lalu melebihi target. di atas yang ditargetkan, lifting gas juga di atas yang ditargetkan. tapi angka persisnya sampai koma-komanya baru bisa diketahui hari Jumat (pekan ini)," ujarnya.
Jonan menambahkan tren penurunan harga minyak dunia yang masih mewarnai tahun 2016, tidak berpengaruh besar pada capaian produksi dan lifting. Ia merinci, realisasi harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) hingga akhir 2016 diperkirakan sekitar US$ 39,5 per barel, lebih rendah dari target dalam APBN-P 2016 yang mencapai US$ 40 per barel.
Mengacu data SKK Migas, sejak 2005 hingga 2015 realisasi lifting minyak tidak pernah mencapai target. Tahun 2003, capaian lifting minyak hanya mencapai 952.000 bph, lebih rendah dari target APBN-P 2003 sebesar satu juta bph. Begitu juga tahun 2008 yang hanya 871.000 bph, masih di bawah target 927.000 bph.
Padahal target lifting minyak sepanjang 2006-2015 diturunkan lantaran produksi minyak dan gas bumi terus mengalami kemerosotan. Namun, tetap saja realisasinya masih di bawah target. Pada 2015, lifting minyak hanya sebesar 777.560 bph, dari target 825.000 bph. (Baca: SKK Migas Targetkan Pasang Alat Ukur Produksi Maret 2017)
Jonan juga mengakui dalam dua tahun terakhir industri migas mengalami kelesuan. Rendahnya harga minyak mengakibatkan aktifitas migas, khususnya eksplorasi mengalami penurunan.
Pemerintah pun berupaya untuk terus menggairahkan industri migas dengan melakukan perbaikan dari sisi regulasi dan kebijakan. Salah satunya dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 terkait perpajakan sektor migas dan biaya operasi migas yang dapat dikembalikan (cost recovery).
"Ini diharapkan dapat membuat aktifitas eksplorasi migas meningkat, sehingga peluang penemuan cadangan migas lebih tinggi,” ujarnya. (Baca: Pengeboran Sumur Migas Tahun Depan Bakal Lebih Sedikit)
Selain revisi PP 79/2010, pemerintah kini juga menyiapkan instrumen skema kontrak kerjasama migas, yakni gross split yang dinilai dapat lebih efisien "“Skema bagi hasil gross split migas disusun dengan tetap mendorong penguatan industri di dalam negeri,” ujar Jonan.
Jonan mengatakan setidaknya ada tiga keuntungan kontraktor jika memilih skema kerjasama memakai gross split. Pertama, efisiensi pengelolaan biaya. Kedua, menyederhanakan birokrasi. Ketiga, mempercepat dan mengefektifkan kegiatan eksplorasi juga eksploitasi.