Menteri Perdagangan Bantah Ada Mafia di Balik Kenaikan Harga Cabai
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membantah kenaikan harga cabai akibat ulah mafia atau spekulan yag menahan pasokan. “Tidak ada indikasi mafia,” katanya, Senin, 9 Januari 2017.
Enggar menegaskan, kenaikan harga cabai rawit merah pada awal tahun ini lebih disebabkan persoalan cuaca. “Dari empat jenis cabai hanya cabai rawit merah yang jadi soal, semua diakibatkan oleh hanya satu alasan yaitu iklim,” katanya.
Enggar juga menyatakan bahwa harga cabai di beberapa daerah telah mulai turun. Di Kalimantan misalnya, saat ini harga cabai rawit merah sudah di kisaran Rp 150 ribu per kilogram dari sebelumnya, Rp 200 ribu per kilogram.
(Baca juga: Harga Cabai Rp 250 Ribu, Darmin: Faktor Cuaca dan Pedagang Curang)
Sementara di DKI Jakarta, harga cabai ada di kisaran Rp 115 ribu per kilogram. Begitu juga di Jawa Barat yang menjadi sentra produksi cabai, harganya ada di kisaran Rp 100 ribu per kilogram.
Untuk mengatasi kenaikan harga cabai rawit merah, menurut Enggar, pemerintah telah melakukan pemerataan stok. Caranya, Kementerian mengidentifikasi daerah mana saja yang mengalami surplus produksi cabai. Kemudian, melalui Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), cabai-cabai itu dikirim ke daerah yang kekurangan.
Untuk mengisi kebutuhan cabai di Samarinda dan Balikpapan di Kalimantan Timur misalnya, PPI telah mendatangkan ratusan kilogram cabai dari Gorontalo, Makassar dan Surabaya. Selain itu, cabai dari Makassar juga akan dikirim ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
(Baca juga: Cabai dan Bawang, Penyumbang Inflasi Terbesar 2016)
Masalahnya, menurut Enggar, pengiriman cabai tidak bisa dilakukan sekaligus karena produk segar mudah busuk. “Transportasi dari tempat petik ke kota membuat proses pembusukan makin cepat,” katanya.
Begitu juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menilai kenaikan harga cabai rawit merah akibat tingginya curah hujan.
Adhi berharap, ke depan pemerintah lebih mengintensifkan perkembangan inovasi pemetaan dan teknologi pasca panen agar bisa memperpanjang masa simpan cabai. “Selain itu, ada baiknya konsumen mau mengubah kebiasaan konsumsi dengan mulai mengkonsumsi cabai kering dan cabai pasta,” katanya.
(Baca juga: Jaga Inflasi, BI Luncurkan Sistem Pemantauan Harga Pangan)
Adapun, menurut Adhi, industri makanan tidak kekurangan pasokan cabai. Hanya saja, perusahaan harus merogoh kantong lebih dalam karena harganya tinggi. “Kebutuhan cabai untuk industri makanan itu hanya 100 ton per tahun, harga industri untuk rawit merah kami beli paling tinggi Rp 150 ribu minggu lalu,” ujarnya.