Swasta dan Koperasi Bisa Bangun Kelistrikan di Perdesaan
Pemerintah terus berupaya melakukan percepatan pembangunan kelistrikan di wilayah terpencil. Salah satunya dengan membuka peluang swasta dan badan usaha selain PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menggarap proyek infrastruktur listrik di pedesaan.
Peluang ini diatur dalam Peraturan Menteri (ESDM) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 Tahun 2016 tentang percepatan elektrifikasi di perdesaan belum berkembang, terpencil, perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk. Dengan aturan ini, semua badan usaha seperti badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, hingga perusahaan swasta bebas memilih lokasi dan skema usaha kelistrikan yang akan dibangun.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berharap penyediaan listrik untuk masyarakat perdesaan menggunakan prinsip harga murah tanpa mengurangi kualitas pembangkit. "Jangan sampai pembangunannya setengah-setengah," ujarnya dalam acara Coffee Morning di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Senin (16/1).
Ada beberapa hal yang diatur dalam permen 38/2016, diantaranya tujuh kewajiban badan usaha dalam pengusahaan kelistrikan desa. Pertama, membuat rencana usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Baca: Pemerintah Siapkan Tiga Skema Tarif Listrik Daerah Terpencil)
Kedua, menyediakan tenaga listrik di dalam wilayah usahanya. Ketiga, mengupayakan pencapaian rasio elektrifikasi minimal 95 persen di wilayah usahanya dalam waktu lima tahun setelah mendapatkan penugasan dari Menteri ESDM. Keempat, membangun infrastruktur ketenagalistrikan dan harus bisa beroperasi paling lama satu tahun setelah mendapatkan penugasan.
Kelima, memenuhi ketentuan keselamatan dan lingkungan ketenagalistrikan. Keenam, menyediakan tenaga listrik dan jaringan distribusinya dengan mutu serta keandalan yang baik. Ketujuh, melaporkan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah usahanya setiap enam bulan.
Selain itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan dengan aturan ini badan usaha bebas memilih pembangunan usaha penyediaan tenaga listrik skala kecil (UPTLSK). Baik dengan skema penugasan di wilayah usaha bersubsidi, atau tanpa penugasan di wilayah usaha tanpa subsidi.
wilayah usaha bersubsidi adalah daerah berpenduduk yang berhak disubsidi. Misalnya, perdesaan yang belum berkembang, terpencil, daerah perbatasan, serta pulau kecil. Sedangkan wilayah usaha tanpa subsidi adalah wilayah berpenduduk yang tidak berhak disubsidi. Adapun penduduk yang berhak disubsidi dan tidak di suatu wilayah, mengacu data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Dalam proses UPTLSK di wilayah usaha bersubsidi, Gubernur mengusulkan penetapan wilayah usaha kepada Menteri ESDM. Usulan ini terdiri dari batasan luas wilayah usaha (minimal satu kecamatan), analisis potensi sumber energi baru terbarukan (EBT), analisis kebutuhan dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik, dan analisis jumlah pelanggan. Kemudian analisis kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar, dan perkiraan rata-rata harga material, jasa dan transportasi.
Selanjutnya Menteri ESDM akan memverifikasi usulan ini dan menetapkan wilayah usaha. Wilayah ini kemudian dilelang kepada badan usaha oleh gubernur. Setelah mendapatkan pemenang, Menteri ESDM akan menetapkan tarif dan besaran subsidi listrik di wilayah tersebut. (Baca: Rasio Elektrifikasi Nasional Tahun Lalu Sudah Melebihi Target)
"Selisih antara biaya pokok pengadaan listrik dengan kemampuan masyarakat itulah yang disubsidi," kata Jarman. Perhitungan subsidi didasarkan volume penggunaan energi listrik per satuan sambungan per bulan (paling tinggi 84 kWh). Adapun tarif untuk badan usaha yang mendapatkan penugasan memakai tarif tenaga listrik yang ditetapkan oleh PLN untuk pelanggan 450 VA.
Sebaliknya, untuk skema proses UPTLSK di wilayah usaha tanpa subsidi tidak melibatkan gubernur setempat. Melainkan badan usaha yang langsung mengajukan diri kepada Menteri ESDM. Jika dinyatakan lolos verifikasi, maka badan usaha tersebut menetapkan tarif listriknya sesuai tarif PLN untuk secara nasional untuk pelanggan non subsidi dengan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku.
Jarman mencontohkan, salah satu BUMD Kabupaten di Provinsi Riau, yakni Pelalawan telah berhasil melistriki tiga kecamatan di sekitarnya dengan total pelanggan mencapai 6.000 pelanggan. "Di Pelalawan dia tidak pakai subsidi dari pemerintah pusat karena pelanggannya itu bukan pelanggan yang masuk kelas subsidi. dia memakai pelanggan 900-1300 VA, tidak ada pelanggan 450 VA. bisa saja terjadi seperti itu. Tapi kalau ada masyarakat tidak mampu, maka sesuai dengan peraturan mereka berhak dapat subsidi," kata dia.
Arcandra berharap dengan adanya Permen 38/2016, pembangunan kelistrikan desa bisa dipercepat dan target tingkat keterjangkauan listrik (rasio elektrifikasi) bisa terkejar 97 persen pada 2019. "Tadi dilaporkan rasio elektrifikasi kita saat ini baru 91 persen. Pada 2019 kami harap 97 persen, 2025 harapannya 100 persen, di mana seluruh desa teraliri listrik," kata dia.