Dua Aturan Baru Kementerian ESDM Bisa Hambat Investasi Panas Bumi
Dua aturan baru yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mendapat sorotan dari Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia. Peraturan Menteri Nomor 10, dan 12 tahun 2017 dianggap dapat mematikan usaha dan menghambat investasi.
Ketua Umum Hasanuddin mengatakan skema Build, Own, Operate and Transfer (BOOT) yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (3) Permen ESDM No. 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) tidak lazim. “Ini yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan mematikan peluang usaha badan usaha lain dalam penyediaan energi listrik,” katanya berdasarkan siaran persnya, Selasa (14/2).
(Baca: Swasta Berpeluang Dapat Insentif jika Percepat Proyek Listrik)
Dengan skema BOOT maka pembangkit listrik yang dibangun badan usaha, baik BUMN ataupun swasta harus dialihkan ke negara ketika kontrak berakhir. Sebelumnya, badan usaha mempunyai hak membangun, memiliki dan mengoperasikan (Build, Own and Operate/BOO) pembangkit melalui mekanisme penawaran wilayah kerja dan tidak dapat dialihkan kepada badan usaha lain.
Menurut Hasanuddin, kepemilikan fasilitas pembangkit listrik ini sebenarnya tidak bertentangan dengan ketentuan penguasaan sumber daya alam. Alasannya, negara melalui pemerintah telah memberikan kontrol penguasaan melalui badan usahanya melalui fasilitas khusus PJBL kepada PT Perusahaan LIstrik Negara (PLN).
Untuk itu, pola kerja sama BOOT dapat dilakukan kepada Badan Layanan Umum atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di Bidang Panas Bumi yang mendapatkan penugasan. “Aturan ini perlu direvisi karena menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan kerja sama usaha yang tidak lazim,” ujar Hasanuddin.
(Baca: Pemerintah Buat Aturan Patokan Tarif Energi Baru Terbarukan)
Selain Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 tahun 2017, ADPPI juga mengkritisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kritik tersebut khususnya Pasal 11 mengenai Penentuan Tarif Setelah Cadangan Terbukti dan Harga Patokan.
Menurut dia, penentuan pembelian tenaga listrik menggunakan harga patokan biaya pokok produksi bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Pengaturan harga energi panas bumi harus dibuat secara terpisah dari energi terbarukan lainnya oleh sebab sudah ada peraturan tersendiri yang sifatnya lex specialist.
(Baca:Aturan Terbit, PLN Bisa Impor Gas Bumi untuk Pembangkit)
Dalam Pasal 22, ayat (1) dan (2) UU Nomor 21 tahun 2014, menurut Hasanuddin, harga energi panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian. Hal ini juga sejalan dengan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang menyatakan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.