Tur Raja Salman ke Asia di Tengah Defisit Anggaran Arab Saudi
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud, bersama rombongan besarnya memulai lawatan ke beberapa negara di Asia pada Minggu (26/2) kemarin. Lawatan selama sebulan penuh ini disebut-sebut bertujuan mendorong kerja sama ekonomi dan menjaring investasi di tengah defisit anggaran akibat lesunya perekonomian Arab Saudi.
Beberapa negara yang dikunjungi Raja Salman adalah Malaysia, Indonesia, Cina dan Jepang. Inilah kunjungan pertama Raja Salman ke luar Timur Tengah dan Afrika Utara sejak dia melawat ke Amerika Serikat tahun 2015.
Di Malaysia, seperti dilansir Reuters, perusahaan minyak nasional Arab Saudi, Saudi Aramco, direncanakan menandatangani kerja sama dengan Petroliam Nasional Bhd (Petronas). Kerja sama itu berupa pengembangan pabrik pemurnian dan petrokimia terintegrasi.
Kerja sama serupa akan dirajut Arab Saudi di Indonesia. Bertepatan dengan kunjungan Raja Salman pada Rabu nanti, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas T. Lembong mengatakan, bakal ada penandatanganan investasi oleh Aramco untuk perluasan proyek Kilang Cilacap. Nilainya sekitar US$ 6 miliar atau setara Rp 80 triliun.
Selain itu, ada beberapa kontrak investasi lain dengan nilai mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13,3 triliun.
Arab Saudi juga setuju melakukan kerja sama investasi dengan Softbank Group, Jepang, hingga US$ 45 miliar atau setara Rp 600 triliun untuk dana pengembangan teknologi baru. Adapun di Cina, kunjungan Raja Salman akan semakin menegaskan kian eratnya hubungan ekonomi ke dua negara. Sebelumnya, Cina dan Arab sudah merajut kerja sama di berbagai proyek investasi.
Reuters juga melaporkan, lawatan rombongan Raja Salman ini juga bertujuan 'menjajakan' saham Aramco ke investor Asia. Hal ini berdasarkan rekomendasi penasihat keuangan Aramco agar perusahaan tersebut melirik pemodal Cina demi menyukseskan rencana penjualan saham perdananya (IPO). Penjualan 5 persen saham Aramco tahun depan digadang-gadang akan menjadi IPO terbesar di dunia.
Para pengamat ekonomi melihat, Arab Saudi tengah fokus mengembangkan industri non-minyak dan memperluas investasi internasionalnya ke berbagai sektor usaha. Hal ini merupakan bagian dari upaya diversifikasi industrinya untuk mengurangi kerentanan ekonomi Arab yang selama ini terlalu bergantung pada bisnis minyak.
Sebagai negara yang mengandalkan pendapatan dari ladang minyak, pemasukan Arab Saudi ikutan merosot seiring kejatuhan harga minyak dunia. Kondisi itu membuat anggaran negara tersebut mengalami defisit sebesar 367 miliar riyal atau sekitar Rp 1.372 triliun pada 2015 lalu. Jumlah itu setara 15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Arab Saudi.
(Baca juga: Defisit Rp 1.372 Triliun, Arab Saudi Naikkan Harga BBM)
Persoalan defisit anggaran Saudi berlanjut hingga tahun lalu, meski jumlahnya menciut menjadi sekitar Rp 1.305 triliun. Perbaikan tersebut seiring dengan membaiknya harga minyak dunia dan kebijakan pemerintah memangkas belanja.
Pemerintah telah memotong gaji pegawai negeri sipil, juga mengurangi besaran subsidi energi. Mengacu pada data perusahaan investasi asal Arab, Jadwa, anggaran untuk kesehatan dan pendidikan juga tercatat berkurang.
Persoalan defisit tersebut telah memaksa Arab Saudi mengambil utang asing. CNN Money memberitakan, posisi utang luar negeri pemerintah mencapai US$ 17,5 miliar atau setara Rp 62,3 triliun pada Oktober 2016. (Baca juga: Raja Arab Datang, Saudi Aramco Teken Kontrak Perluasan Kilang Cilacap)
Mengacu laporan program penyeimbangan fiskal 2020 yang dicanangkan akhir tahun lalu, Pemerintah Arab Saudi harus melakukan sederet langkah agar defisit anggaran tak berlarut-larut. Bila tak mengambil langkah apapun, pemerintah harus memotong belanja modal setidaknya 90 persen, memangkas belanja operasional pemerintah setidaknya 30 persen, serta memangkas gaji dan tunjangan pensiun pegawai serta pejabat pemerintah.
(Baca juga: Hebohnya Bandara Jakarta dan Bali Sambut 8 Pesawat Raja Arab)
Selain memperluas investasi untuk mendorong pendapatan negara, pemerintah juga masih akan menjalankan kebijakan penghematan. Pemerintah bakal kembali mengurangi subsidi energi di antaranya subsidi gas dalam beberapa tahun ke depan. Tahun lalu, penyesuaian harga bahan bakar minyak tersebut berhasil menghemat anggaran pemerintah sebesar 28 miliar riyal atau setara Rp 99,6 triliun.
“Harga dari produk-produk tersebut akan kami revisi secara periodik, berdasarkan kenaikan persentase yang terkait dengan harga pasar internasional,” demikian tertulis dalam dalam laporan itu. (Baca juga: Pemerintah Minta Diskon Harga Minyak Mentah ke Raja Arab)
Selain itu, pemerintah berencana menaikkan pajak. Padahal, sebelumnya, pemerintah telah menaikkan biaya visa bagi pengunjung dan pajak yag dibayarkan penduduk.
Di sisi lain, pemerintah berupaya mendorong perekonomian dengan mengalokasikan dana investasi 200 miliar riyal atau setara Rp 707,7 triliun untuk mendorong diversifikasi sektor usaha. Selain itu, ada juga alokasi bantuan untuk rumah tangga dengan ekonomi rendah dan menengah mulai tahun ini. Alokasinya diperkirakan 70 miliar riyal atau setara Rp 249 triliun per bulan pada 2020.