Genjot Penerimaan, Sri Mulyani Ingin Defisit Anggaran Terus Susut
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis penyusutan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bakal berlanjut seiring dengan peningkatan penerimaan negara. Tahun depan, defisit APBN ditarget berada pada kisaran 1,9-2,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Defisit anggaran mengalami tren peningkatan sejak 2012 silam. Defisit tercatat sebesar 1,9 persen (2012), lalu naik menjadi 2,3 persen (2013), lalu turun sedikit menjadi 2,2 persen (2014) sebelum kemudian melonjak ke level 2,6 persen (2015). Defisit anggaran kembali bergerak turun pada tahun lalu yaitu ke level 2,5 persen dan ditarget turun ke level 2,4 persen pada tahun ini seiring peningkatan penerimaan.
Pemerintah memang tengah gencar-gencarnya menggenjot penerimaan negara. Pemerintah bahkan membentuk tim khusus yakni tim reformasi perpajakan yang bertugas untuk menyusun strategi agar rasio pajak meningkat dari kisaran 10 persenan tahun ini menjadi 15 persen pada 2020. (Baca juga: Sektor Properti Lesu, Pemerintah Tunda Pajak Tanah Nganggur)
Di sisi lain, penerimaan negara juga bakal terbantu oleh kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang ditarget tumbuh 15-16 persen tahun depan. Adapun, defisit anggaran masih akan ditambal oleh utang. Namun, Sri Mulyani meyakinkan utang bakal ditujukan untuk membiayai belanja pemerintah yang produktif. Hal itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
"Presiden meminta kami berutang bukan untuk konsumsi, tetapi investasi," ujar dia saat Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) di Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN), Jakarta, Selasa (11/4).
Selain itu, pemerintah juga akan terus menjaga rasio utang di batas aman yaitu 27-29 persen terhadap PDB. "Pembiayaan juga harus memerhatikan kehati-hatian dengan menjaga rasio utang dalam batas yang aman yakni 27-29 persen dari PDB. Juga melakukan efisiensi biaya utang untuk menjaga kesinambungan fiskal ke depan," kata Sri Mulyani.
Dalam lima tahun terakhir, nominal utang yang ditarik untuk menambal defisit anggaran memang terus meningkat. Nominalnya mencapai Rp 175,2 triliun (2012), Rp 237,4 triliun (2013), Rp 248,9 triliun (2014), Rp 323,1 triliun (2015), dan Rp 330,3 triliun(2016). Sedangkan tahun ini nominalnya diproyeksikan sebesar Rp 330,2 triliun.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, karena terbatasnya APBN, pembiayaan infrastruktur harus diarahkan kepada alternatif pembiayaan lain seperti perbankan, swasta, BUMN, dan Pemerintah Daerah (Pemda). Apalagi, pemerintah hanya mampu memenuhi 30-40 persen dari kebutuhan pembiayaan infrastruktur.
"APBN kan terbatas, makanya ada program prioritas. Yang tidak prioritas akan dapat (anggaran) lebih kecil," tutur Bambang. (Baca juga: Pemerintah Bidik 91,5 Persen Dana Investasi 2018 dari Luar APBN)