Rizal Ramli Minta Bos Baru OJK Rombak Struktur Kredit Perbankan
Para ekonom berharap Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru dapat merombak struktur kredit perbankan. Sebab, kredit bank selama ini lebih banyak dinikmati pengusaha kaya. Harapan tersebut menjadi masukan bagi Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memilih calon bos OJK.
Salah seorang ekonom yang dimintakan pandangannya adalah Rizal Ramli. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini mengaku sudah mengkaji kondisi sektor keuangan sejak krisis 1997. Ia menemukan, selama ini struktur ekonomi Indonesia seperti “gelas anggur”. Berbeda dengan negara-negara lain yang justru strukturnya piramida.
(Baca: Seleksi Pimpinan Baru OJK, Pelaku Pasar Modal Harap Pungutan Turun)
Ia menjelaskan, struktur gelas anggur ini berarti kelompok di atas jumlahnya sangat besar. Dalam catatannya, ada 160 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 200 keluarga yang memiliki lebih dari 100 perusahaan. Sedangkan di bagian tengah seperti bentuk gagang gelas anggur, justru jumlahnya sangat kecil sekali. Padahal, kelompok itu merupakan pengusaha kelas menengah.
"Yang tengah kecil sekali yaitu perusahaan yang independen kelas menengah," kata Rizal saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi Keuangan DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (31/5). Selanjutnya, pada bagian paling bawah kembali membesar yaitu ada 60 juta perusahaan kecil dan rumah tangga.
Ia memandang struktur ekonomi semacam ini sangat tidak adil. Alasannya, perusahaan-perusahaan jumbo itu yang dapat penyaluran kredit dalam jumlah besar. Padahal, di sisi lain rasio ekspor terhadap total penjualan dari 200 perusahaan besar di luar perusahaan sawit tersebut, di bawah 10 persen.
(Baca: OJK Rilis 3 Aturan Antikrisis, 12 Bank Masuk Kategori Sistemik)
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar di negara maju, seperti Korea Selatan dan Jepang. Rasio ekspor terhadap total penjualannya lebih dari 90 persen. Artinya, perusahaan besar di negara-negara maju itu mengambil nilai tambah dari global untuk kemudian dibawa ke dalam negerinya.
"Kalau di Indonesia, mereka (pengusaha besar) cari uang di sini, uangnya dibawa ke luar negeri," kata Rizal. "Yang kaya ini beli kebijakan. Yang di bawah sangat kompetitif sekali."
Sementara itu, tingkat keuntungan perusahaan kecil dan rumah tangga di Indonesia rata-rata hanya 5 persen. Adapun, di Korea Selatan dan Jepang dengan struktur piramidanya justru perusahaan besar yang berorientasi ekspor tersebut membawa perusahan kecil dan menengah untuk menjadi pemasok. Alhasil, perusahaan kecil dan menengah ikut menikmati besarnya pangsa pasar dunia.
"Negara lain terutama Asia tidak memiliki struktur (gelas anggur) ini, adanya piramida. Di Korea dan Jepang, yang besar-besar itu jago dunia, kalau di Indonesia jago kandang," katanya.
Karena itulah, Rizal meminta DPR mendorong pimpinan baru OJK untuk turut berperan mengubah struktur ekonomi tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan menyeleksi penyaluran kredit, yang tidak lagi mengutamakan perusahaan besar melainkan mulai melirik perusahan kecil dan menengah.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom dari Asosiasi Peneliti Ekonomi Politik Indonesia Salamuddin Daeng melihat saat ini ada ketimpangan dalam penyaluran kredit. Catatannya, 81 persen dari total kredit perbankan diberikan ke nasabah besar. Padahal, agr ekonomi bisa tumbuh tinggi, penyaluran kredit harus menyentuh perusahan kecil dan menengah.
(Baca: 14 Calon OJK Pilihan Jokowi, Wimboh dan Sigit Berebut Posisi Ketua)
"Ini ada ketimpangan. Fungsi OJK ke depan harus diselaraskan dengan apa yang jadi visi pemerintah ini. Apakah OJK sekarang mampu keluar dari oligarki keuangan yang mengutamakan taipan-taipan yang menurut saya sudah dalam kondisi mengkhawatirkan," katanya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mempertanyakan detail integritas yang harus dimiliki oleh masing-masing kandidat pimpinan OJK periode 2017-2022. Latar belakang menjadi sangat penting untuk didalami oleh DPR.
"Apakah integritas hanya persoalan hukum saja? Mestinya kan termasuk track record dan kompetensinya, harus ada indikator nyata. Apa kontribusi masing-masing kandidat di kemajuan sektor keuangan Indonesia?”