DPR Tanggapi Beragam Usulan Pelebaran Defisit Anggaran
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menanggapi beragam usulan ekonom mengenai pelebaran batas atas defisit anggaran. Saat ini, Undang-Undang Keuangan Negara membatasi defisit anggaran maksimal tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Usulan tersebut muncul merespons kenaikan defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017.
Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Golkar Mukhammad Misbakhun mengatakan dirinya setuju dengan usulan tersebut asalkan bukan karena alasan penerimaan yang rendah. Sebab, penerimaan semestinya meningkat seiring dengan ekonomi yang terus tumbuh.
“Ada peluang (pelebaran defisit anggaran) itu, tapi jangan sampai isunya hanya penerimaan. Kami harus lihat isu substansial lain sehingga bisa diterima,” kata Misbakhun kepada Katadata di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/7).
Menurut dia, pelebaran defisit harus didasari alasan yang positif seperti untuk fleksibilitas belanja negara. Selain itu, mempertimbangkan prakteknya di negara lain. (Baca juga: Utang Pemerintah Bengkak, Ekonom: Tanpa Berutang, Pajak Naik)
Hal senada disampaikan Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo. Menurut dia, pelebaran defisit dimungkinkan untuk mendukung ekspansi belanja pemerintah. Ini lebih baik, dibanding pemerintah harus selalu melakukan penyesuaian lantaran defisit anggaran yang mendekati tiga persen.
Namun, ia menekankan, tata kelola utang dan belanja tidak produktif, seperti subsidi harus diperhatikan. “Menurut saya ini pilihan kebijakan politik. Katakan ini menjadi boomerang, at least dalam lima tahun (kumulatif defisit anggaran) lima persen. Bisa diperlebar, daripada selalu fine tuning (disesuaikan),” kata dia.
Di sisi lain, Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai, pelebaran defisit anggaran bukan isu mendesak. Ia yakin pemerintah masih bisa menjaga defisit anggaran di bawah batas aman tiga persen, dan tetap mampu mendorong perekonomian. “Untuk sementara tak perlu merevisi aturan. Masih bisa disiasati,” ujar dia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpendapat, batasan defisit anggaran tiga persen memberi dorongan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan disiplin fiskal. Dengan demikian, utang dikelola dengan baik dan belanja difokuskan untuk membiayai belanja yang sifatnya mendesak dan penting.
Ia justru khawatir, jika defisit anggaran diperlebar namun tidak ada perencanaan yang matang terhadap belanja maka justru akan merugikan keuangan negara. Menurut dia, tanpa eksekusi yang baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga defisit melebar, justru akan menimbulkan dua beban baru.
Pertama, utang meningkat tak terkendali tanpa pemanfaatan yang jelas. Kedua, kementerian, lembaga, dan pemda tidak mampu menjalankan rencana belanja dengan baik.
Pertengahan tahun lalu, Menteri Keuangan Periode 2013-2014 Chatib Basri juga pernah menanggapi kemungkinan pelebaran batas atas defisit anggaran. Ia memperingatkan risiko hengkangnya dana asing (capital outflow) dari pasar modal dan keuangan Indonesia, jika batasan itu diubah.
Turki dan Brasil, misalnya, makin terpuruk pasca keluarnya dana asing sehingga berlanjut kepada perlambatan ekonominya. Sebaliknya, India bisa bangkit dari risiko capital outflow karena mampu mengurangi defisit anggarannya dari enam persen menjadi tiga persen.
“Yang membuat orang (asing) yakin sama Indonesia itu budget deficit kita tidak akan lebih dari tiga persen. Jadi tidak akan punya masalah dengan utang,” kata Chatib. Sebab, kalau defisit yang membesar dibiayai dengan utang sedangkan peningkatan jumlah utang akan memperbesar risiko.
Jika melongok ke belakang, rasio utang Indonsia pernah melebihi 100 persen terhadap PDB pada 1998. Kondisi itu kemudian membuat terpuruknya ekonomi. Saat ini, kondisinya membaik dengan rasio utang kurang dari 30 persen.