Presiden dan DPR Didesak Segera Evaluasi Panglima TNI
Beberapa kalangan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR segera mengevaluasi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Hal ini menyusul pernyataan Gatot terkait pemesanan 5.000 senjata ilegal oleh lembaga nonmiliter dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo.
Pernyataan Gatot disampaikan saat pertemuan internal bertajuk forum silaturahmi bersama para purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9). Pertemuan itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Endriartono Sutarto, Jenderal (Purn) Widodo AS, dan Laksamana (Purn) Agus Suhartono.
Direktur Imparsial Al-Araf mengatakan pernyataan Gatot tidak tepat dilontarkan seorang Panglima TNI. Selain itu, hal ini juga tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Intelijen.
Gatot menyebut informasi yang disampaikanya merupakan bagian dari hasil penyelidikan intelijen. Menurut Araf, informasi intelijen seharusnya langsung disampaikan kepada Presiden, bukan ke publik. "Hakikat dari informasi intelijen sesungguhnya bersifat rahasia, sehingga langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen ke publik jelas tindakan salah dan keliru," kata Araf dalam keterangan persnya, Senin (25/9).
Araf menilai informasi intelijen yang disampaikan Gatot memiliki tingkat keakuratan yang lemah. Padahal prinsip kerja intelijen itu seharusnya velox et exactus (cepat dan akurat). Apalagi langsung ada bantahan resmi dari Menteri Koordinator Wiranto, bahwa informasi yang ada hanyalah pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad (Persero) oleh Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan intelijen.
Masalah keakuratan ini bukan hanya persoalan miskomunikasi. Lebih dari itu, menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sikap dan tindakan Gatot serta dunia intelijen dalam menjaga kerahasiaan dan akurasi data. "Langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen di depan publik dan bukannya kepada Presiden seperti diatur dalam UU intelijen, merupakan bentuk fetakompli, berdimensi politis, menimbulkan polemik, serta dapat menggangu situasi keamanan itu sendiri," kata Araf.
(Baca: Pemerintah Pinjam Rp 15,2 Triliun untuk Beli Senjata di 2018)
Araf juga menilai pernyataan Gatot yang mengancam akan menyerbu Kepolisian jika membeli senjata penembak tank keliru, tidak tepat, berlebihan, dan menyalahi UU TNI. Alasannya, TNI dalam negara demokrasi merupakan alat pertahanan negara. Pengerahan kekuatan militer hanya bisa dilakukan oleh Presiden, sesuai pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan (3), pasal 17 ayat (1) jo 19 ayat (2) UU TNI.
Pengerahan kekuatan juga ditujukan untuk menghadapi ancaman bagi negara dan institusi kepolisian jelas bukanlah objek ancaman keamanan negara yang harus diserang oleh TNI. "Kalaupun terdapat persoalan yang melibatkan sebuah institusi negara, upaya penyelesaian seharusnya dilakukan bukan dengan cara-cara koersif seperti melakukan aksi penyerbuan melainkan melalui kelembagaan politik demokratik dan hukum," ujarnya.
Araf menilai pernyataan Panglima TNI dapat membuka ruang konflik antar institusi negara, khususnya TNI dan Polri. Padahal Gatot seharusnya bisa memberikan contoh dan sikap yang konstruktif dalam membangun sinergitas TNI-Polri.
Menurut Araf, bukan kali ini saja Gatot menunjukkan sikap dan kebijakan kontroversial. Sebelumnya, dia juga pernah memantik konflik terbuka dengan Menteri Pertahanan saat rapat kerja di DPR, terkait masalah anggaran. Kemudian membuat polemik dengan menghadiri Rapimnas Partai Golkar.
Dalam pertemuan tersebut Gatot menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui sebuah puisi berjudul "Bukan Kami Punya" karya Denny JA. Panglima juga membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan UU TNI, yakni membuat berbagai MoU dengan instansi pemerintah lain.
(Baca: DPR Tak Awasi Pengadaan Impor Senjata untuk BNN)
Oleh karena itu, Araf meminta agar Jokowi dan DPR melakukan evaluasi menyeluruh sektor pertahanan, agar lebih baik, kuat dan profesional. Hal itu disampaikannya bersama lembaga lain, yakni SETARA Institute, ELSAM, KontraS, Lesperssi, LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Institut Demokrasi, PBHI, Amnesty Internasional, dan Yayasan Satu Keadilan
"Khusus kepada Presiden, kami meminta agar melakukan regenerasi dan penyegaran di dalam tubuh TNI dengan melalukan rotasi pergantian Panglima TNI dan segera memilih yang baru," kata Araf.