Perubahan nomenklatur dan nama Kementerian Koordinator Maritim tak hanya memunculkan kekisruhan administrasi, tapi juga menimbulkan gesekan antar-menteri. Salah satunya menyangkut perebutan kewenangan koordinasi dengan Menko Perekonomian di bidang perkebunan.

Kontroversi perubahan nomenklatur Menko Bidang Kemaritiman yang kini dijabat oleh Rizal Ramli ini dipicu oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia menyindir bahwa ada menteri yang seenaknya menambah nomenklatur kementerian. Dalam hal ini, Rizal disebut-sebut telah mengubah nama kementeriannya menjadi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2015 hanya disebutkan bahwa kementerian ini bernama Kementerian Koordinator Bidang Maritim. Di bawah koordinasinya, terdapat empat kementerian, yakni Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan, Pariwisata, serta Kelautan dan Perikanan.

Saat dilantik pada 12 Agustus 2015 menggantikan Indroyono Soesilo, Rizal mengklaim telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo tentang perubahan nama Kementerian yang dipimpinnya itu. Ia pun dikabarkan meminta tambahan dua kementerian di bawah koordinasinya, yakni Kementerian Pertanian, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

"Ada dua kementerian lagi yang ditambah. Apa saja kementerian itu, tanya Presiden saja," katanya. Dengan tambahan dua kementerian, Rizal berharap koordinasi antarkementerian di bawahnya akan lebih solid.

Langkah Rizal menambah panjang nama Kemenko Maritim itu berlanjut dalam pembagian tugas empat deputi di bawahnya. Berdasarkan situs resmi kementerian ini, yaitu www.maritim.go.id., empat deputi itu terdiri dari deputi bidang koordinasi kedaulatan maritim, deputi bidang koordinasi sumber daya alam dan jasa, deputi bidang koordinasi infrastruktur, dan deputi bidang koordinasi sumber daya manusia, IPTEK dan budaya maritim.

Selama berbulan-bulan, klaim sepihak Rizal tersebut dianggap seperti angin lalu saja. Hal ini baru menjadi sorotan publik ketika Kalla membantah klaim tersebut, Kamis lalu (3/3). “Pokoknya tidak ada perubahan sampai sekarang, tetap Menko Maritim. Tidak ada itu ‘Sumber Daya’,” kata Kalla di kantornya, seperti dikutip Koran Tempo.

Kekisruhan nomenklatur ini tercermin pada munculnya kekacauan administrasi di internal Kemenko Maritim. Kop surat di Kementerian itu sudah menggunakan nama baru yaitu Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya. Namun, stempel yang digunakan hanya tertulis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

“Kop surat memang bisa dengan mudah dicetak,” ujar salah seorang sumber Katadata di pemerintahan, “Sedangkan stempel tidak bisa sembarangan dibuat, dan prosedurnya lebih ketat.”

Surat Kemenko Maritim

Kekacauan itu antara lain terlihat dalam surat tertanggal 15 Februari 2016, yang ditandatangani oleh Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno. Dalam kop surat tertera nama Kemenko Bidang Maritim dan Sumber Daya. Sedangkan pada stempel yang digunakan hanya tertulis Kemenko Bidang Kemaritiman.

Dalam surat lainnya tertanggal 25 Januari 2016 perihal “Penanganan Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor Tahun 2009”, juga sudah tertulis Kemenko Bidang Maritim dan Sumber Daya.

Dalam hal koordinasi dan pembagian kerja kabinet, kerancuan nomenklatur ini juga memunculkan sejumlah gesekan antara Kemenko Maritim dan kementerian lainnya, salah satunya dengan Kemenko Bidang Perekonomian.

Hal ini pernah diungkapkan secara terbuka oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution saat memberikan pidato dalam acara pembukaan pameran foto tentang kebakaran hutan “Mencegah Bara” di Galeri Fatahillah, Kota Tua Jakarta pada 17 Desember lalu. Darmin menyentil, persoalan yang muncul menyangkut koordinasi di bidang perkebunan sawit.

Dalam forum itu hadir sejumlah pengusaha sawit papan atas, antara lain Franky Wijaya, bos Sinar Mas Group. Dalam forum yang sama, turut memberikan sambutan yaitu Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil.

Saat itu, Darmin menegaskan bahwa urusan perkebunan masih sepenuhnya berada dalam lingkup koordinasi Kemenko Perekonomian yang dipimpinnya. Hal ini sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Peraturan Presiden. “Selama Perpresnya belum diganti, urusan perkebunan masih di bawah saya. Jadi, jangan coba-coba bermain politik ke sana ke mari,” kata Darmin memperingatkan.

Sentilan Darmin ini tampaknya mengacu pada langkah Rizal menjadi inisator pembentukan dewan negara-negara produsen sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries pada akhir Oktober lalu. Dewan ini diprakarsai oleh Indonesia dan Malaysia sebagai negara produsen utama sawit di dunia.

(Baca: Andalkan Dewan Sawit, Pemerintah Ingin Buat Standar Baru Harga Sawit Dunia)

Kala itu, menurut Rizal, pembentukan dewan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak di Istana Bogor, beberapa pekan sebelumnya. Adapun tujuan pembentukannya untuk menetapkan standar baru harga sawit oleh para negara utama produsen sawit dunia.

Para menteri yang kementeriannya diklaim di bawah koordinasi Kemenko Maritim juga merasa tidak tahu-menahu perihal perubahan nomenklatur tersebut. “Buat saya di mana saja tidak masalah. Tapi sampai saat ini belum ada perubahan status dan kami masih di bawah Menko Perekonomian. Keppresnya belum berubah,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono di kantornya, Jumat (4/3).

Hingga berita ini ditulis, Rizal Ramli belum bisa dimintai konfirmasinya. Sedangkan Penasihat Menko Maritim dan Sumber Daya, Ronnie Higuchi Rusli, menyatakan tambahan nama “Sumber Daya” itu cuma ada di situs Kemenko Maritim. “(Di) lain-lain tidak berubah,” katanya kepada Katadata.

Ia malah balik mempertanyakan, mengapa persoalan tersebut baru dimunculkan sekarang. “Dulu-dulu wapres (wakil presiden) tidak lihat?” ujarnya. Ronnie pun mensinyalir persoalan perubahan nomenklatur Kemenko Maritim diributkan sekarang karena kasus Blok Masela.

(Baca: Peta Kabinet soal Pengembangan Blok Masela Berubah)

Seperti diketahui, Rizal memang berseberangan dengan Wapres Kalla dan sejumlah menteri dalam rencana pengembangan Blok Masela. Rizal mendukung pengembangan blok kaya gas di Laut Arafuru, Maluku itu, menggunakan skema kilang di darat (onshore LNG).  Berbeda dengan Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memilih skema kilang terapung di laut (FLNG).

Refly Harun, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan penentuan nomenklatur setiap kementerian merupakan kewenangan presiden yang kemudian ditetapkan melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penetapan nomenklatur itu dipayungi secara hukum oleh keputusan presiden (keppres). “Tidak boleh ditambahkan atau diubah (sendiri) oleh menteri,” katanya kepada Katadata.

Menurut Refly, sebenarnya tidak ada mekanisme sanksi terhadap menteri yang secara sepihak mengubah nomenklatur kementeriannya. “Karena itu (masalah) administratif,” kata bekas Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Namun, presiden bisa saja menggunakan hak prerogatifnya untuk memecat para bawahannya, termasuk menteri. “Jadi sanksinya terserah presiden dan diatur secara prerogatif oleh presiden.”

Reporter: Metta Dharmasaputra, Arnold Sirait, Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami