Mengenal Istilah Quiet Quitting, Pengertian, dan Penyebabnya

Annisa Fianni Sisma
19 Oktober 2022, 23:30
quiet quitting
Freepik
Ilustrasi, stress.

Akhir-akhir ini istilah quiet quitting ramai dibicarakan, terutama di platform media sosial TikTok. Tidak ada yang dapat memverifikasi siapa yang menciptakan istilah atau frasa ini. Namun, yang jelas istilah ini populer sejak pertengahan 2022.

Tak dapat disangkal, quiet quitting telah memicu perdebatan sengit tentang budaya tempat kerja. Meski istilah ini tidak ada hubungannya dengan benar-benar berhenti dari pekerjaan, tren ini dilihat sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas, yakni menetapkan kembali batasan kehidupan kerja.

Istilah quiet quitting muncul, karena keterlibatan pekerja, yakni salah satu ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan dan antusiasme di tempat kerja, telah turun sejak paruh kedua 2021.

Nah, apa sebenarnya quiet quitting itu, dan bagaimana sifat ini bisa muncul di tempat kerja, khususnya di kalangan generasi millenial dan generasi Z (Gen Z). Simak ulasan berikut ini.

Apa Sebenarnya Quiet Quitting itu?

Mengutip Investopdia, quiet quitting adalah istilah yang mengacu pada sifat atau tindakan seseorang, utamanya karyawan suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.

Quiet quitting tidak berarti bahwa seseorang benar-benar berhenti dari pekerjaan. Melainkan hanya melakukan apa yang diperlukan dan kemudian melanjutkan hidup. Tujuannya, untuk mencapai lebih banyak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

"Karyawan masih melakukan tugasnya, tetapi tidak lagi tunduk pada mentalitas lama, bahwa pekerjaan harus menjadi hidup," kata Zaid Khan, seorang insinyur perangkat lunak dan musisi berusia 24 tahun asal New York, dikutip dari World Economic Forum.

Istilah quiet quitting ini, utamanya populer di kalangan pekerja yang masuk dalam kategori generasi millenial dan generasi Z.

Secara sederhana, inti dari quiet quitting, adalah tetap melakukan pekerjaan Anda, tetapi tidak "melampaui" atau secara sukarela melakukan pekerjaan tambahan yang tidak dibayar atau dihargai.

Fenomena ini telah memicu berbagai reaksi. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak hanya ada satu cara untuk melakukan quiet quitting. Secara umum, ada tiga pendekatan yang mewakili sikap quiet quitting, yaitu sebagai berikut:

1. Checking-Out

Checking-out dapat diterjemahkan sebagai sikap sinis yang ditonjolkan oleh seorang karyawan di tempat kerja. Jajak pendapat yang dilakukan Gallup menunjukkan, bahwa keterlibatan atau keaktifan pekerja saat ini cenderung turun.

Tagar "act your wage" sedikit banyak menjelaskan fenomena ini. Tagar tersebut seolah mengatakan, bahwa jika seseorang dibayar minimum, maka ia akan melakukan pekerjaan seminimal mungkin.

2. Melakukan Pemogokan Parsial

Pemogokan merupakan strategi klasik buruh, agar didengar oleh manajemen perusahaan. Nah, cara ini juga kerap diambil dan menjadi sinyal dari quiet quitting. Bedanya, quiet quitting hanya melakukan pemogokan sebagian atau parsial.

Caranya, dengan menolak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, serta menolak tugas yang di luar deskripsi pekerjaan. Tindakan ini diambil, untuk menarik perhatian pada nilai pekerjaan seseorang, dan mencari pengakuan, serta kompensasi yang sesuai.

Seperti pemogokan buruh, tujuannya adalah negosiasi ulang syarat-syarat kerja agar lebih adil. Harapannya, adalah memberi tekanan pada pemberi kerja untuk menetapkan ekspektasi yang lebih jelas, menulis deskripsi pekerjaan yang akurat, dan memberikan kompensasi yang sesuai.

3. Taking Charge

Taking charge atau mengambil alih, dapat dimaknai sebagai sinyal quiet quitting yang paling positif. Bisa dikatakan, tindakan ini mewakili penegasan kontrol, penyeimbangan kembali hubungan kerja.

Ketimbang melakukan pekerjaan seminimal mungkin, taking charge lebih menonjolkan komitmen seseorang untuk menetapkan batas secara tegas dalam pekerjaan.

Fokusnya adalah untuk hadir sepenuhnya saat bekerja, serta melakukan yang terbaik sesuai deskripsi pekerjaan. Di saat yang sama, pekerja juga berusaha untuk menjaga kesehatan, kesejahteraan, hubungan, dan aktivitas di luar pekerjaan.

Ini dimulai dengan manajemen diri, dan belajar untuk mengatakan tidak, sambil tetap berkomitmen pada tanggung jawab inti, serta memberikan nilai tambah pada bidang kerja atau deskripsi kerja yang diberikan/dipercayakan.

Mengambil sikap quiet quitting ini tidak muncul begitu saja. Melainkan ada sesuatu yang menjadi pemicu atau trigger seseorang akhirnya bersikap pasif.

Penyebab Quiet Quitting

Mengutip teambuilding.com, setidaknya ada enam penyebab seorang atau beberapa karyawan melakukan quiet quitting.

1. Beban Kerja Berlebih

Salah satu keluhan umum dari orang yang melakukan quiet quitting, adalah karena "melakukan pekerjaan dua hingga tiga karyawan". Orang-orang yang melakukan quiet quitting umumnya adalah karyawan yang dulu bersemangat, namun karena terlalu terbebani dan bekerja terlalu keras hingga kelelahan.

Seringkali, peningkatan beban kerja ini terjadi sebagai akibat dari pergantian staf. Ketika satu karyawan pergi, anggota tim lainnya mengambil peran kosong tersebut sampai karyawan baru tiba. Karyawan dapat menjadi lelah, dan frustrasi ketika menunggu lama untuk anggota tim pengganti atau pergantian yang sering.

Pekerjaan yang berlebihan ini, juga dapat diakibatkan oleh seorang karyawan yang mengambil kelonggaran untuk anggota tim lainnya dan kurangnya akuntabilitas dalam kelompok.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...